BLOG DALAM MASA PERBAIKAN!!

Rabu, 13 November 2013

Sejarah Perkembangan Hadits (Sunnah Qablat Tadwin)



Pembahasan
Sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis Nabi dapat diklasifikasikan dalam beberapa periode, yaitu:
1.      Hadis pada masa Nabi
2.      Hadis pada masa sahabat (al-Khulafa al-Rasyidun)
3.      Hadis pada masa thabi’in
4.      Hadis pada masa kodifikasi
5.      Hadis pada masa awal sampai akhir abad III H
6.      Hadis pada abad IV sampai pertengahan abad VII (jatuhnya Baghdad tahun 656 H)
7.      Hadis pada masa pertengahan abad VII sampai sekarang
Namun dalam pembahasan ini, yang akan disampaikan sejarah perkembangan hadits sebelum dibukukan sampai dengan pada masa thabi’in saja. Dalam penghimpunannya, hadits mengalami perkembangan yang cukup lamban dan bertahap dibanding dengan perkembangan al-Qur’an. Hal ini karena al-Qur’an pada masa Nabi sudah tercatat meskipun masih sangat sederhana. Sedangkan pada masa Nabi penulisan hadits dilarang karena takut tercampur dengan ayat al-Qur’an.[1]
A.    Hadis pada Masa Nabi
Masa dikenal dengan ‘Ashr al-Wahy wa al-Takwin, yaitu masa wahyu dan masa pembentukan karena pada masa Nabi ini wahyu masih turun dan masih banyak hadis-hadis Nabi yang datang darinya. Ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi menjadi penyejuk dan sumber kebahagiaan para sahabat Nabi yang tidak pernah mereka temukan pada masa jahiliyah. Mereka menyadari betapa pentingnya kedudukan hadis Nabi dalam agama Islam, bahwa sunnah Nabi merupakan pilar kedua setelah al-Qur’an, orang yang meremehkan dan mengingkarinya akan celaka dan orang yang mengamalkannya akan mendapat kebahagiaan.[2] Dalam menyampaikan hadis-hadisnya, Nabi menempuh dengan beberapa cara, yaitu:

1.      Melalui majelis al-‘ilm, yaitu tempat pengajian yang diadakan oleh Nabi untuk membina para jemaah. Periwayatan hadis melalui majelis ini dilakukan secara reguler dimana para sahabat begitu antusias mengikuti kegiatan di majelis ini.

2.      Melalui para sahabat tertentu, yang kemudian oleh para sahabat disampaikan kepada orang lain.

3.      Untuk hal-hal sensitif yang berkaitan dengan persoalan keluarga dan kebutuhan biologis, terutama menyangkut hubungan suami-istri, Nabi menyampaikannya melalui istri-istrinya.

4.      Melalui ceramah atau pidato ditempat terbuka, seperti pada saat menunaikan ibadah haji, Nabi menyampaikan khatbah yang sangat bersejarah didepan ratusan ribu kaum muslimin yang isinya banyak terkait dengan muamalah, siyasah, jinayah dan hak asasi manusia.

5.      Melalui perbuatan langsung yang disaksikan oleh para sahabatnya, seperti yang berkaitan dengan praktek-praktek ibadah dan muamalah.

Pada masa Nabi, sedikit sekali sahabat yang dapat menulis, sehingga yang menjadi andalan mereka dalam menerima hadis adalah ingatan mereka.[3] Menurut ‘Abd al-Nashr, Allah telah memberikan keistimewaan kepada para sahabat kekuatan daya ingat dan kemampuan menghafal. Mereka dapat meriwayatkan al-Qur’an, hadis, syair dan lain-lainnya dengan baik. Seakan mereka membaca dari sebuah buku.[4] Rasulullah tidak pernah memerintah sahabat tertentu untuk menulis hadis dan membukukannya sebagaimana al-Qur’an yang ditulis secara resmi oleh Zayd ibn Tsabit, sekretaris pribadi beliau.

Bahkan dalam suatu kesempatan Nabi pernah melarang menulis hadis sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudzri bahwa Nabi bersabda:
“Janganlah kalian tulis dariku (selain al-Qur’an) dan barang siapa yang menulis dariku selain al-Qur’an, maka hapuslah, Riwayatkan hadis dariku tidak apa-apa. Barang siapa berdusta atas namaku-Himam berkata, aku menyangka beliau bersabda-maka hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka”.[5]
Larangan ini dilakukan karena khawatir hadis tercampur dengan al-Qur’an yang saat itu masih dalam proses penurunan. Adanya larangan tersebut berakibat banyak hadits yang tidak ditulis atau hanya dihafal lalu diriwayatkan. Ada beberapa pendapat yang berkenaan dengan larangan penulisan hadits, seperti:
1.      Larangan menulis hadits terjadi pada periode permulaan, sedangkan izin penulisannya diberikan pada periode akhir kerasulan
2.      Larangan penulisan hadits ditujukan bagi orang yang kuat afalannya dan tidak dapat menulis dengan baik. Izin menulis hadits diberikan kepada orang yang pandai menulis.
3.      Larangan penulisan hadits bersifat umum kepada orang yang mempunyai daya hafal yang kuat, sedangkan izin penulisan hadits bersifat khusus kepada para sahabat yang dijamin tidak akan mencampurkannya dengan ayat al-Qur’an.
Ada sebagian sahabat yang memiliki catatan yang disebut dengan shahifah untuk mencatat sebagian hadits yang diterima dari Nabi. Catatan-catatan ini merupakan bukti bahwa pada masa Nabi sudah ada penulisan hadits serta dapat digunakan sebagai sarana untuk periwayatan hadits secara tertulis. Tetapi kebanyakan penyebaran hadits pada masa Nabi dilakukan secara lisan.

 B.     Hadis pada Masa Sahabat
Periwayatan hadits pada masa sahabat besar (khulafa rasyidin) sejak tahun 11 H sampai 40 H belum begitu berkembang, karena pada satu sisi perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharan dan penyebaran al-Qur’an. Mereka berusaha untuk membatasi periwayatan hadits. Meskipun perhatian sahabat terpusat pada pemeliharan al-Qur’an, bukan berarti mereka tidak memegang hadits sebagaimana halnya yang mereka terima ketika Nabi masih hidup. Akan tetapi mereka hanya sangat berhati-hati dan membatasi diri dalam meriwayatkan hadits. Hal ini dilakukan karena mereka khawatir akan terjadinya kekeliruan, mereka sadar bahwa hadits adalah sumber hukum kedua setelah al-Qur’an. Oleh karenanya, para sahabat khususnya Khulafa Rasyidin dan sahabat lain seperti al-Zubayr, Ibn ‘Abbas dan Abu Ubaydah berusah memperketat periwayatan dan penerimaan hadits.[6]
Sikap hati-hati ditunjukan oleh khalifah pertama, Abu bakar. Hal ini terlihat pada riwayat Ibn Syihab al-Zuhri bahwa seorang nenek bertanya kepada Abu Bakar soal bagian waris untuk dirinya. Ketika ia menyatakan bahwa hal itu tidak ditemukan hukumnya, baik dalam Qur’an maupun hadits, nenek itu menyebutkan bahwa Rasulullah memberinya seperenam. Kemudian Abu Bakar meminta nenek itu untuk mengajukan saksi terlebih dahulu sebelum haditsnya tersebut diterima.[7] Sikap demikian diambil Abu Bakar agar supaya berita yang disampaikan benar-benar secara meyakinkan dari Nabi, sehingga dapat dijadikan sumber hukum. Dengan demikian, para sahabat Nabi sangat kritis dan hati-hati dalam periwayatan hadits. Karena mereka sangat peduli tentang kebenaran dalam periwayatan hadits, seperti:
1.      Para sahabat (Khulafa Rasyidin) bersikap cermat dan hati-hati dalam menerima suatu riwayat.
2.      Para sahabat melakukan penelitian dengan cermat terhadap periwayat maupun isi riwayat itu sendiri.
3.      Para sahabat mengharuskan adanya saksi dalam periwayatan hadits.
4.      Para sahabat meminta sumpah dari periwayat hadits.
5.      Para sahabat menerima riwayat dari satu orang yang terpercaya.[8]

Sungguhpun demikian tidak berarti pada masa sahabat tidak terjadi kekeliruan dalam periwayatan. Sebagai manusia yang tidak ma’shum, meskipun secara umum memiliki jiwa yang bersih dan daya hafalan yang kuat, dapat saja melakukan kesalahan dalam meriwayatkan hadits. Menurut Shalah al-Din Ibn Ahmad, kekeliruan terjadi pada hadits yang diriwayatkan oleh seorang periwayat, yaitu seperti:
1.      Sahabat itu meriwayatkan hadits yang didengarnya langsung dari Nabi tetapi ia tidak tahu kalo hadits tersebut telah di nasakh.
2.      Periwayat mengalami kekeliruan dalam letak suatu kata dalam hadits.
3.      Periwayat meriwayatkan hadits dengan redaksinya sendiri yang memiliki cakupan yang lebih luas dari makna yang sebenarnya yang bersumber dari Nabi.
4.      Periwayat meriwayatkan hadits secara keliru yakni yang sebenarnya tidak bersumber dari Nabi, melainkan dari dirinya sendiri.
5.      Periwayat tidak sadar dengan pemakaian suatu kata yang bukan asli dari Nabi sehingga memiliki perbedaan maksud.[9]
Dalam sejarah disebutkan sebagaimana disepakati ulama hadits bahwa telah terjadi pemalsuan hadits (wadh’ al-hadits) pada masa Ali ibn Abi Thalib. Kemunculan hadits palsu untuk pertama kalinya ini disebabkan oleh faktor politik. Menurut al-Siba’i pihak yang pertama kali membuat hadits palsu adalah orang Syi’ah.[10] Kaum Syi’ah yang banyak membuat hadits palsu adalah kelompok al-Rafidhah, menurut Ibn Taymiyah seperti dikutip ‘Ajjaj al-Khatib.[11] Karena Irak merupakan pusat Syi’ah, maka ulama hadits menilai bahwa negeri itulah yang menjadi pusat munculnya hadits-hadits palsu untuk pertama kalinya.[12] Mereka beranggapan bahwa berdusta untuk kebaikan diperbolehkan.
C.     Hadis pada Masa Tabi’in
Sebagaimana sahabat besar, para sahabat kecil dan tabi’in juga cukup berhati-hati dalam periwayatan hadits. Hanya saja beban mereka tidak terlalu berat jika dibanding dengan yang dihadapi para sahabat (Khulafar Rasyidin).
5
Karena pada masa ini al-Qur’an sudah dikumpulkan pada satu mushaf, sehingga tidak lagi mengkhawatirkan mereka. Selain itu pada masa akhir periode Khulafar Rasyidin para sahabat ahli hadits telah menyebar kebeberapa wilayah kekuasaan Islam. Ini merupakan kemudahan bagi para tabi’in lain untuk mempelajari hadits-hadits dari mereka. Oleh sebab itu, masa ini dikenal dengan masa menyebarnya periwayatan hadits, yaitu masa dimana hadits tidak lagi terpusat di Madinah tapi sudah diriwayatkan diberbagai daerah dengan para sahabat sebagai tokoh-tokohnya. Kemudian bermunculan sentra-sentra hadits sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahw, yaitu:
1.      Madinah, dengan tokoh dari kalangan sahabat: Aisyah, Abu Hurairah, Ibn Umar, Abu Said al-Khudzri dan lain-lain. Tokoh dari kalangan tabi’in Sa’id ibn Musayyib, ‘Urwah ibn Zubayr, Nafi’ maula Ibn ‘Umar dan lain-lain.
2.      Makkah, dengan tokoh dari kalangan sahabat: Ibn Abbas, ‘Abd Allah ibn Sa’id dan lain-lain. Dari kalangan tabi’in seperti Mujahid bin Jabr, ‘Ikrimah mawla ibn ‘Abbas, Atha ibn Abi Rabah dan lain-lain.
3.      Kufah, dengan tokoh dari kalangan sahabat: ‘Abd Allah ibn Mas’ud, Sa’ad ibn Abi Waqqas dan Salman al-Farisi. Tokoh dari kalangan tabi’in seperti Masruq ibn al-Ajda, Syuraikh ibn al-Haris dan lain-lain.
4.      Basrah, dengan tokoh dari kalangan sahabat: ‘Uthbah ibn Ghazawan, ‘Imran ibn Husayin dan lain-lain. Dari kalangan tabi’in seperti al-Hasan al-Basri, Abu al-‘Aliyah dan lain-lain.
5.      Syam, dengan tokoh dari kalangan sahabat: Mu’adz ibn Jabal, Abu al-Darda’, ‘Ubbadah ibn Shamit dan lain-lain. Dari kalangan tabi’in seperti  Abu Idris, Qabishah ibn Zuaib dan Makhul ibn Abi Muslim.
6.      Mesir, dengan tokoh dari kalangan sahabat: ‘Abd Allah ibn Amr ibn al-‘Ash, ‘Uqbah ibn Amir dan lain-lain. Dari kalangan tabi’in seperti Yazid ibn Abi Hubayib, Abu Basrah al-Ghifari dan lain-lain.




6
Hadits-hadits yang diterima para tabi’in ada yang dalam bentuk catatan atau tulisan dan ada pula yang harus di hafal. Kedua bentuk ini saling melengkapi sehingga tidak ada satu hadits pun yang terlupakan.
Sungguhpun demikian, pada masa ini masih terjadi kekeliruan periwayatan hadits ketika kecermatan dan sikap hati-hati melemah.
Dari sekian pernyataan yang memiliki beragam sumber ini, tidak mustahil menimbulkan salah kutip; seperti perkataan sahabat dinyatakan sebagai hadits Nabi atau bahkan perkataan ahli kitab sebagai sabda Nabi.[13] Faktor-faktor penyebab terjadinya kekeliruan pada masa setelah sahabat (Khulafar Rasyidin) itu antara lain:
1.      Periwayatan hadits sebagaimana manusia tidak terlepas dari unsur kekeliruan.
2.      Terbatasnya penulisan dan kodifikasi hadits. Pada zaman Nabi penulisan hadits harus atas izin Nabi, tapi pada umumnya periwayatan mengandalkan hafalan.
3.      Terjadi periwayatan secara makna atau adanya hadits yang sama tetapi memiliki redaksi yang bergam.[14]
Disamping kekeliruan pada masa ini juga sudah ada hadits palsu. Pemalsuan hadits yang dimulai sejak masa Ali ibn Abi Thalib terus berlanjut dan semakin banyak. Menghadapi terjadinya pemalsuan hadits seperti ini, para ulama melakukan beberapa langkah, yaitu:
1.      Melakukan seleksi dan koreksi tentang nilai hadits atau para periwayatnya.
2.      Hanya menerima riwayat hadis dari periwayatan yang tsiqah saja.
3.      Melakukan penyaringan terhadap hadits-hadits yang diriwayatkan oleh periwayat yang tsiqah.
4.      Mensyaratkan tidak adanya Syadz yang berupa penyimpangan periwayat tsiqah terhadap periwayat lain.
5.      Meneliti sanad dan bertanya kepada para sahabat yang pada saat itu masih hidup.[15]

7
Daftar Pustaka
Yuslem, DR. Nawir; 2001; Ulumul Hadis; ---; PT. Mutiara Sumber Widya
Khon, Dr. H. Abdul Majid; 2010; Ulumul Hadis; Jakarta; Bumi Aksara
Ismail, M. Syuhudi; 1987; Pengantar Ilmu Hadits; Ujung Pandang; Angkasa Bandung


[1] Dr.H.Abdul Majid Khon, M.Ag, Ulumul Hadis, hlm. 41
[2] Muhammad Muhammad Abu Zahw, al-Hadits wa al-Muhadditsun, (Mesir: Syirkah Sahimah Mishriyah, 1987), hlm. 48.
[3] Muhammad Muhammad Abu Zahw, al-Hadits, hlm. 53.
[4] ‘Abd al-Nashr Tawfiq al-‘Aththar, Dutsur, hlm. 71
[5] Al-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawi, (Indonesia: Maktabah Dahlan, tth.), hlm. 2298.                                            
[6] Muhammad Ajjaj al-khatib, al-sunnah, hlm 92-93                                                                                                                        
[7] Al-Hakim al-Naysaburi, kitab ma’rifah, hlm. 15
[8] Ibid, hlm 48-51
[9] Ibid, hlm 48-51
[10] Musthafa al-siba’i, al-sunnah, hlm 79
[11] Muhammad Ajjaj al-Khatib, al-sunnah, hlm. 189
[12] Shalah al-Din ibn Ahmad, manhaj, hlm 30
[13] Ibid, hal 52-53
[14] Muhammad Ajjaj al-Khatib, ushul al-hadits, hlm 53-55
[15] Muhammad Abu Zahw, al-hadits. Hlm 99

Tidak ada komentar:

Posting Komentar