Pembahasan
Sejarah
pertumbuhan dan perkembangan hadis Nabi dapat diklasifikasikan dalam beberapa
periode, yaitu:
1. Hadis
pada masa Nabi
2. Hadis
pada masa sahabat (al-Khulafa al-Rasyidun)
3. Hadis
pada masa thabi’in
4. Hadis
pada masa kodifikasi
5. Hadis
pada masa awal sampai akhir abad III H
6. Hadis
pada abad IV sampai pertengahan abad VII (jatuhnya Baghdad tahun 656 H)
7. Hadis
pada masa pertengahan abad VII sampai sekarang
Namun
dalam pembahasan ini, yang akan disampaikan sejarah perkembangan hadits sebelum
dibukukan sampai dengan pada masa thabi’in saja. Dalam penghimpunannya, hadits mengalami
perkembangan yang cukup lamban dan bertahap dibanding dengan perkembangan
al-Qur’an. Hal ini karena al-Qur’an pada masa Nabi sudah tercatat meskipun
masih sangat sederhana. Sedangkan pada masa Nabi penulisan hadits dilarang
karena takut tercampur dengan ayat al-Qur’an.[1]
A. Hadis
pada Masa Nabi
Masa dikenal
dengan ‘Ashr al-Wahy wa al-Takwin,
yaitu masa wahyu dan masa pembentukan karena pada masa Nabi ini wahyu masih
turun dan masih banyak hadis-hadis Nabi yang datang darinya. Ayat-ayat
al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi menjadi penyejuk dan sumber kebahagiaan para
sahabat Nabi yang tidak pernah mereka temukan pada masa jahiliyah. Mereka
menyadari betapa pentingnya kedudukan hadis Nabi dalam agama Islam, bahwa
sunnah Nabi merupakan pilar kedua setelah al-Qur’an, orang yang meremehkan dan
mengingkarinya akan celaka dan orang yang mengamalkannya akan mendapat
kebahagiaan.[2]
Dalam menyampaikan hadis-hadisnya, Nabi menempuh dengan beberapa cara, yaitu:
1. Melalui
majelis al-‘ilm, yaitu tempat
pengajian yang diadakan oleh Nabi untuk membina para jemaah. Periwayatan hadis
melalui majelis ini dilakukan secara reguler dimana para sahabat begitu
antusias mengikuti kegiatan di majelis ini.
2. Melalui
para sahabat tertentu, yang kemudian oleh para sahabat disampaikan kepada orang
lain.
3. Untuk
hal-hal sensitif yang berkaitan dengan persoalan keluarga dan kebutuhan
biologis, terutama menyangkut hubungan suami-istri, Nabi menyampaikannya
melalui istri-istrinya.
4. Melalui
ceramah atau pidato ditempat terbuka, seperti pada saat menunaikan ibadah haji,
Nabi menyampaikan khatbah yang sangat bersejarah didepan ratusan ribu kaum
muslimin yang isinya banyak terkait dengan muamalah, siyasah, jinayah dan hak
asasi manusia.
5. Melalui
perbuatan langsung yang disaksikan oleh para sahabatnya, seperti yang berkaitan
dengan praktek-praktek ibadah dan muamalah.
Pada masa Nabi, sedikit sekali sahabat yang dapat
menulis, sehingga yang menjadi andalan mereka dalam menerima hadis adalah
ingatan mereka.[3]
Menurut ‘Abd al-Nashr, Allah telah memberikan keistimewaan kepada para sahabat
kekuatan daya ingat dan kemampuan menghafal. Mereka dapat meriwayatkan
al-Qur’an, hadis, syair dan lain-lainnya dengan baik. Seakan mereka membaca
dari sebuah buku.[4]
Rasulullah tidak pernah memerintah sahabat tertentu untuk menulis hadis dan
membukukannya sebagaimana al-Qur’an yang ditulis secara resmi oleh Zayd ibn Tsabit,
sekretaris pribadi beliau.
Bahkan
dalam suatu kesempatan Nabi pernah melarang menulis hadis sebagaimana
diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudzri bahwa Nabi bersabda:
“Janganlah kalian tulis
dariku (selain al-Qur’an) dan barang siapa yang menulis dariku selain
al-Qur’an, maka hapuslah, Riwayatkan hadis dariku tidak apa-apa. Barang siapa
berdusta atas namaku-Himam berkata, aku menyangka beliau bersabda-maka
hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka”.[5]
Larangan ini dilakukan karena khawatir hadis
tercampur dengan al-Qur’an yang saat itu masih dalam proses penurunan. Adanya
larangan tersebut berakibat banyak hadits yang tidak ditulis atau hanya dihafal
lalu diriwayatkan. Ada beberapa pendapat yang berkenaan dengan larangan
penulisan hadits, seperti:
1. Larangan
menulis hadits terjadi pada periode permulaan, sedangkan izin penulisannya
diberikan pada periode akhir kerasulan
2. Larangan
penulisan hadits ditujukan bagi orang yang kuat afalannya dan tidak dapat
menulis dengan baik. Izin menulis hadits diberikan kepada orang yang pandai
menulis.
3. Larangan
penulisan hadits bersifat umum kepada orang yang mempunyai daya hafal yang
kuat, sedangkan izin penulisan hadits bersifat khusus kepada para sahabat yang
dijamin tidak akan mencampurkannya dengan ayat al-Qur’an.
Ada sebagian sahabat yang memiliki catatan yang
disebut dengan shahifah untuk
mencatat sebagian hadits yang diterima dari Nabi. Catatan-catatan ini merupakan
bukti bahwa pada masa Nabi sudah ada penulisan hadits serta dapat digunakan
sebagai sarana untuk periwayatan hadits secara tertulis. Tetapi kebanyakan
penyebaran hadits pada masa Nabi dilakukan secara lisan.
B. Hadis
pada Masa Sahabat
Periwayatan hadits
pada masa sahabat besar (khulafa rasyidin)
sejak tahun 11 H sampai 40 H belum begitu berkembang, karena pada satu sisi
perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharan dan penyebaran al-Qur’an.
Mereka berusaha untuk membatasi periwayatan hadits. Meskipun perhatian sahabat
terpusat pada pemeliharan al-Qur’an, bukan berarti mereka tidak memegang hadits
sebagaimana halnya yang mereka terima ketika Nabi masih hidup. Akan tetapi
mereka hanya sangat berhati-hati dan membatasi diri dalam meriwayatkan hadits.
Hal ini dilakukan karena mereka khawatir akan terjadinya kekeliruan, mereka
sadar bahwa hadits adalah sumber hukum kedua setelah al-Qur’an. Oleh karenanya,
para sahabat khususnya Khulafa Rasyidin dan
sahabat lain seperti al-Zubayr,
Ibn ‘Abbas dan Abu Ubaydah berusah memperketat periwayatan
dan penerimaan hadits.[6]
Sikap hati-hati ditunjukan
oleh khalifah pertama, Abu bakar. Hal ini terlihat pada riwayat Ibn Syihab
al-Zuhri bahwa seorang nenek bertanya kepada Abu Bakar soal bagian waris untuk
dirinya. Ketika ia menyatakan bahwa hal itu tidak ditemukan hukumnya, baik
dalam Qur’an maupun hadits, nenek itu menyebutkan bahwa Rasulullah memberinya
seperenam. Kemudian Abu Bakar meminta nenek itu untuk mengajukan saksi terlebih
dahulu sebelum haditsnya tersebut diterima.[7]
Sikap demikian diambil Abu Bakar agar supaya berita yang disampaikan
benar-benar secara meyakinkan dari Nabi, sehingga dapat dijadikan sumber hukum.
Dengan demikian, para sahabat Nabi sangat kritis dan hati-hati dalam
periwayatan hadits. Karena mereka sangat peduli tentang kebenaran dalam
periwayatan hadits, seperti:
1. Para
sahabat (Khulafa Rasyidin) bersikap
cermat dan hati-hati dalam menerima suatu riwayat.
2. Para
sahabat melakukan penelitian dengan cermat terhadap periwayat maupun isi
riwayat itu sendiri.
3. Para
sahabat mengharuskan adanya saksi dalam periwayatan hadits.
4. Para
sahabat meminta sumpah dari periwayat hadits.
5. Para
sahabat menerima riwayat dari satu orang yang terpercaya.[8]
Sungguhpun demikian tidak berarti pada masa sahabat
tidak terjadi kekeliruan dalam periwayatan. Sebagai manusia yang tidak ma’shum,
meskipun secara umum memiliki jiwa yang bersih dan daya hafalan yang kuat,
dapat saja melakukan kesalahan dalam meriwayatkan hadits. Menurut Shalah al-Din
Ibn Ahmad, kekeliruan terjadi pada hadits yang diriwayatkan oleh seorang
periwayat, yaitu seperti:
1. Sahabat
itu meriwayatkan hadits yang didengarnya langsung dari Nabi tetapi ia tidak
tahu kalo hadits tersebut telah di nasakh.
2. Periwayat
mengalami kekeliruan dalam letak suatu kata dalam hadits.
3. Periwayat
meriwayatkan hadits dengan redaksinya sendiri yang memiliki cakupan yang lebih
luas dari makna yang sebenarnya yang bersumber dari Nabi.
4. Periwayat
meriwayatkan hadits secara keliru yakni yang sebenarnya tidak bersumber dari
Nabi, melainkan dari dirinya sendiri.
5. Periwayat
tidak sadar dengan pemakaian suatu kata yang bukan asli dari Nabi sehingga memiliki
perbedaan maksud.[9]
Dalam sejarah disebutkan sebagaimana disepakati
ulama hadits bahwa telah terjadi pemalsuan hadits (wadh’ al-hadits) pada masa Ali ibn Abi Thalib. Kemunculan hadits
palsu untuk pertama kalinya ini disebabkan oleh faktor politik. Menurut
al-Siba’i pihak yang pertama kali membuat hadits palsu adalah orang Syi’ah.[10]
Kaum Syi’ah yang banyak membuat hadits palsu adalah kelompok al-Rafidhah,
menurut Ibn Taymiyah seperti dikutip ‘Ajjaj al-Khatib.[11]
Karena Irak merupakan pusat Syi’ah, maka ulama hadits menilai bahwa negeri
itulah yang menjadi pusat munculnya hadits-hadits palsu untuk pertama kalinya.[12] Mereka
beranggapan bahwa berdusta untuk kebaikan diperbolehkan.
C. Hadis
pada Masa Tabi’in
Sebagaimana
sahabat besar, para sahabat kecil dan tabi’in
juga cukup berhati-hati dalam periwayatan hadits. Hanya saja beban mereka tidak
terlalu berat jika dibanding dengan yang dihadapi para sahabat (Khulafar Rasyidin).
5
Karena pada masa
ini al-Qur’an sudah dikumpulkan pada satu mushaf, sehingga tidak lagi
mengkhawatirkan mereka. Selain itu pada masa akhir periode Khulafar Rasyidin para sahabat ahli hadits telah menyebar
kebeberapa wilayah kekuasaan Islam. Ini merupakan kemudahan bagi para tabi’in lain untuk mempelajari hadits-hadits
dari mereka. Oleh sebab itu, masa ini dikenal dengan masa menyebarnya periwayatan
hadits, yaitu masa dimana hadits tidak lagi terpusat di Madinah tapi sudah
diriwayatkan diberbagai daerah dengan para sahabat sebagai tokoh-tokohnya.
Kemudian bermunculan sentra-sentra hadits sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad
Abu Zahw, yaitu:
1. Madinah,
dengan tokoh dari kalangan sahabat: Aisyah, Abu Hurairah, Ibn Umar, Abu Said
al-Khudzri dan lain-lain. Tokoh dari kalangan tabi’in Sa’id ibn Musayyib, ‘Urwah ibn Zubayr, Nafi’ maula Ibn
‘Umar dan lain-lain.
2. Makkah,
dengan tokoh dari kalangan sahabat: Ibn Abbas, ‘Abd Allah ibn Sa’id dan
lain-lain. Dari kalangan tabi’in seperti
Mujahid bin Jabr, ‘Ikrimah mawla ibn ‘Abbas, Atha ibn Abi Rabah dan lain-lain.
3. Kufah, dengan tokoh dari
kalangan sahabat: ‘Abd Allah ibn Mas’ud, Sa’ad ibn Abi Waqqas dan Salman
al-Farisi. Tokoh dari kalangan tabi’in seperti
Masruq ibn al-Ajda, Syuraikh ibn al-Haris dan lain-lain.
4. Basrah,
dengan tokoh dari kalangan sahabat: ‘Uthbah ibn Ghazawan, ‘Imran ibn Husayin
dan lain-lain. Dari kalangan tabi’in
seperti al-Hasan al-Basri, Abu al-‘Aliyah dan lain-lain.
5. Syam,
dengan tokoh dari kalangan sahabat: Mu’adz ibn Jabal, Abu al-Darda’, ‘Ubbadah
ibn Shamit dan lain-lain. Dari kalangan tabi’in
seperti Abu Idris, Qabishah ibn Zuaib
dan Makhul ibn Abi Muslim.
6. Mesir,
dengan tokoh dari kalangan sahabat: ‘Abd Allah ibn Amr ibn al-‘Ash, ‘Uqbah ibn
Amir dan lain-lain. Dari kalangan tabi’in
seperti Yazid ibn Abi Hubayib, Abu Basrah al-Ghifari dan lain-lain.
6
Hadits-hadits yang diterima para tabi’in ada yang dalam bentuk catatan
atau tulisan dan ada pula yang harus di hafal. Kedua bentuk ini saling melengkapi
sehingga tidak ada satu hadits pun yang terlupakan.
Sungguhpun demikian, pada masa ini masih terjadi
kekeliruan periwayatan hadits ketika kecermatan dan sikap hati-hati melemah.
Dari sekian pernyataan yang memiliki beragam sumber
ini, tidak mustahil menimbulkan salah kutip; seperti perkataan sahabat
dinyatakan sebagai hadits Nabi atau bahkan perkataan ahli kitab sebagai sabda
Nabi.[13] Faktor-faktor
penyebab terjadinya kekeliruan pada masa setelah sahabat (Khulafar Rasyidin)
itu antara lain:
1. Periwayatan
hadits sebagaimana manusia tidak terlepas dari unsur kekeliruan.
2. Terbatasnya
penulisan dan kodifikasi hadits. Pada zaman Nabi penulisan hadits harus atas
izin Nabi, tapi pada umumnya periwayatan mengandalkan hafalan.
3. Terjadi
periwayatan secara makna atau adanya hadits yang sama tetapi memiliki redaksi
yang bergam.[14]
Disamping kekeliruan pada masa ini juga sudah ada
hadits palsu. Pemalsuan hadits yang dimulai sejak masa Ali ibn Abi Thalib terus
berlanjut dan semakin banyak. Menghadapi terjadinya pemalsuan hadits seperti
ini, para ulama melakukan beberapa langkah, yaitu:
1. Melakukan
seleksi dan koreksi tentang nilai hadits atau para periwayatnya.
2. Hanya
menerima riwayat hadis dari periwayatan yang tsiqah saja.
3. Melakukan
penyaringan terhadap hadits-hadits yang diriwayatkan oleh periwayat yang
tsiqah.
4. Mensyaratkan
tidak adanya Syadz yang berupa penyimpangan periwayat tsiqah terhadap periwayat
lain.
5. Meneliti
sanad dan bertanya kepada para sahabat yang pada saat itu masih hidup.[15]
7
Daftar
Pustaka
Yuslem, DR.
Nawir; 2001; Ulumul Hadis; ---; PT. Mutiara Sumber Widya
Khon, Dr. H.
Abdul Majid; 2010; Ulumul Hadis; Jakarta; Bumi Aksara
Ismail, M.
Syuhudi; 1987; Pengantar Ilmu Hadits; Ujung Pandang; Angkasa Bandung
[1] Dr.H.Abdul Majid Khon, M.Ag, Ulumul Hadis, hlm. 41
[2] Muhammad
Muhammad Abu Zahw, al-Hadits wa
al-Muhadditsun, (Mesir: Syirkah Sahimah Mishriyah, 1987), hlm. 48.
[3] Muhammad
Muhammad Abu Zahw, al-Hadits, hlm.
53.
[4] ‘Abd
al-Nashr Tawfiq al-‘Aththar, Dutsur, hlm. 71
[5] Al-Nawawi,
Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawi,
(Indonesia: Maktabah Dahlan, tth.), hlm. 2298.
[6] Muhammad Ajjaj al-khatib, al-sunnah,
hlm 92-93
[7] Al-Hakim al-Naysaburi, kitab
ma’rifah, hlm. 15
[8] Ibid, hlm 48-51
[9] Ibid, hlm 48-51
[10] Musthafa al-siba’i, al-sunnah,
hlm 79
[11] Muhammad Ajjaj al-Khatib,
al-sunnah, hlm. 189
[12] Shalah al-Din ibn Ahmad, manhaj,
hlm 30
[13] Ibid, hal 52-53
[14] Muhammad Ajjaj al-Khatib, ushul
al-hadits, hlm 53-55
[15] Muhammad Abu Zahw, al-hadits.
Hlm 99
Tidak ada komentar:
Posting Komentar