Bab I
Pendahuluan
Setelah
Nabi Muhammad SAW wafat, realita kehidupan sosial semakin tampak. Di zaman
globalisasi dan modern seperti sekarang ini banyak timbul masalah-masalah yang
sebelumnya tidak dibahas secara detail oleh Al Qur’an dan as-Sunnah. Sehingga
untuk memecahkan masalaah tersebut dalam perkembangannya para ulama banyak
mengembangkan berbagai teori, metode, dan prinsip hukum yang sebelumnya tidak
dirumuskan secara sistematis, baik dalam al-Quran maupun as-Sunnah.
Di
antara metode penetapan hukum yang dikembangkan para ulama adalah sadd al-dzari’ah dan fath al-dzari’ah. Dan tujuan
penetapan hukum adalah untuk memperoleh kemashlahatan dan menghindarkan kemadharatan.
Dengan memakani al-Dzarî’ah, baik dalam pengertian Fath al-Dzarî’ah
maupun Sadd al-Dzarî’ah, diharapkan tercapai kemashlahatan atau
terjauhkannya kemungkinan terjadinya kerusakan, atau terhindarnya dari
kemungkinan terjadinya perbuatan maksiat akan lebih dimungkinkan untuk kita
peroleh. Dengan kata lain, penerapan penalaran hukum al-Dzarî’ah ini
dimungkinkan untuk mengantisipasi terjadinya kerusakan dan terciptanya kebaikan.
Bab II
Pembahasan
A.
Pengertian
Secara
etimologi (bahasa), dzari’ah berarti “jalan
yang menuju kepada sesuatu.” Ada juga yang mengkhususkan pengertian dzari’ah dengan “sesuatu yang membawa
kepada yang dilarang dan mengandung kemudaratan.” Akan tetapi Ibn Qayyim
al-Jauziyah (ahli fiqh) mengatakan bahwa pembatasan pengertian dzari’ah kepada sesuatu yang dilarang
saja tidak tepat, karena ada juga dzari’ah
yang bertujuan kepada yang dianjurkan.[1]
Oleh sebab itu, menurutnya pengertian dzari’ah
lebih baik dikemukakan yang bersifat umum , sehingga dzari’ah itu mengandung dua pengertian, yaitu: yang dilarang (sadd al-dzariah) dan yang dituntut untuk
dilaksanakan (fath al-dzari’ah).
Secara Terminologi (istilah), Menurut
al-Qarafi, sad dzari’ah adalah memotong jalan kerusakan (mafsadah) sebagai cara
untuk menghindari kerusakan tersebut.[2]
Menurut asy-Syaukani, adz-dzari’ah adalah masalah atau perkara yang pada
dasarnya dibolehkan namun akan mengantarkan kepada perbuatan yang dilarang.[3]
Dalam
karyanya al-muwafat, asy-Syatibi menyatakan bahwa sad adz-dzari’ah adalah
menolak sesuatu yang boleh agar tidak mengantarkan kepada sesuatu yang
dilarang.[4]
Menurut Yahya dan Fatchurrahman, sad adz-dzari’ah adalah menutup jalan yang
menuju kepada perbuatan yang terlarang.[5]
Dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami bahwa sadd
adz-dzari’ah adalah menetapkan larangan atas suatu perbuatan tertentu
yang pada dasarnya diperbolehkan untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang
dilarang.
B.
Kedudukan
sebagai sumber hukum
Kedudukan Sadd al-Dzarỉ‘ah
Sebagaimana
halnya dengan qiyas, dilihat dari aspek aplikasinya, sadd al-dzarỉ‘ah merupakan salah satu metode
pengambilan keputusan hukum (istinbâth
al-hukm) dalam Islam.
Namun dilihat dari di sisi produk hukumnya, sadd
al-dzarỉ‘ah adalah salah
satu sumber hukum.
Tidak semua ulama
sepakat dengan sadd al-dzarỉ‘ah sebagai metode dalam menetapkan hukum.
Secara umum berbagai pandangan ulama tersebut bisa diklasifikasikan dalam tiga
kelompok, yaitu 1) yang menerima sepenuhnya; 2) yang tidak menerima sepenuhnya;
3) yang menolak sepenuhnya.
Kelompok pertama, yang menerima sepenuhnya sebagai metode dalam
menetapkan hukum, adalah mazhab Maliki dan mazhab Hambali. Para ulama di
kalangan Mazhab Maliki bahkan mengembangkan metode ini dalam berbagai
pembahasan fikih dan ushul fikih mereka sehingga bisa diterapkan lebih luas.
Kelompok kedua, yang tidak menerima sepenuhnya sebagai metode
dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i. Dengan kata
lain, kelompok ini menolak sadd
al-dzarỉ‘ah sebagai
metode istinbath pada kasus tertentu, namun
menggunakannya pada kasus-kasus yang lain.
Kelompok ketiga, yang menolak sepenuhnya sebagai metode dalam
menetapkan hukum, adalah mazhab Zhahiri. Hal ini sesuai dengan prinsip mereka
yang hanya menetapkan hukum berdasarkan makna tekstual(zhâhir al-lafzh). Sementara sadd al-dzarỉ‘ah adalah hasil penalaran terhadap
sesuatu perbuatan yang masih dalam tingkatan dugaan, meskipun sudah sampai
tingkatan dugaan yang kuat. Dengan demikian, bagi mereka konsep sadd al-dzarỉ‘ah adalah semata-mata produk akal dan
tidak berdasarkan pada nashsecara
langsung.
Dasar Hukum Sadd al-Dzarỉ‘ah
1. Al-Quran
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan
yang mereka sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan
melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat
menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali
mereka, lalu dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. al-An’âm, 6: 108).
Pada
ayat di atas, mencaci maki tuhan atau sembahan agama lain adalah al-dzari’ah yang akan menimbulkan adanya sesuatu mafsadah yang dilarang, yaitu mencaci
maki Tuhan. Sesuai dengan teori psikologi mechanism
defense, orang yang
Tuhannya dicaci kemungkinan akan membalas mencaci Tuhan yang diyakini oleh
orang sebelumnya mencaci. Karena itulah, sebelum balasan caci maki itu terjadi,
maka larangan mencaci maki tuhan agama lain merupakan tindakan preventif (sadd al-dzari’ah).
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
katakan (kepada Muhammad): “Râ’inâ”, tetapi katakanlah: “Unzhurnâ”, dan
“Dengarlah”. Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.” (QS. al-Baqarah, 2: 104).
Pernyataan
Allah pada QS al-Baqarah, 2: 104 di atas, bisa dipahami adanya suatu bentuk
pelarangan terhadap sesuatu perbuatan karena adanya kekhawatiran terhadap
dampak negatif yang akan terjadi. Katarâ ‘inâ (رَاعِنَا) berarti: “Sudilah kiranya
kamu memperhatikan kami.” Saat para sahabat menggunakan kata ini terhadap
Rasulullah, orang Yahudi pun memakai kata ini dengan nada mengejek dan menghina
Rasulullah s.a.w. Mereka menggunakannya dengan maksud kata râ ‘inâ (رَعِنًا) sebagai bentuk isim fâ’il darimasdar kata ru’ûnah (رُعُوْنَة) yang berarti bodoh.[6]
Karena
itulah, Tuhan pun menyuruh para sahabat Nabi SAW mengganti kata râ’inâ yang biasa mereka pergunakan dengan unzhurnâ yang juga berarti sama dengan râ’inâ. Dari latar belakang
dan pemahaman demikian, ayat ini menurut al-Qurthubi dijadikan dasar dari sadd al-dzarỉ‘ah.[7]
2. As-Sunnah
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللهُ
عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِنْ
أَكْبَرِ الْكَبَائِرِ أَنْ يَلْعَنَ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قِيلَ يَا رَسُولَ
اللهِ وَكَيْفَ يَلْعَنُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قَالَ يَسُبُّ الرَّجُلُ أَبَا
الرَّجُلِ فَيَسُبُّ أَبَاهُ وَيَسُبُّ أُمَّهُ
Dari Abdullah bin Amr RA, ia berkata, Rasulullah
SAW bersabda: “Termasuk di antara dosa besar seorang lelaki melaknat kedua
orang tuanya.” Beliau kemudian ditanya, “Bagaimana caranya seorang lelaki
melaknat kedua orang tuanya?” Beliau menjawab, “Seorang lelaki mencaci maki
ayah orang lain, kemudian orang yang dicaci itu pun membalas mencaci maki ayah
dan ibu tua lelaki tersebut.”[8]
Hadis ini dijadikan oleh
Imam Syathibi sebagai salah satu dasar hukum bagi konsep sadd al-dzarỉ‘ah.Berdasarkan
hadits tersebut, menurut tokoh ahli fikih dari Spanyol itu, dugaan (zhann) bisa digunakan sebagai dasar
untuk penetapan hukum dalam konteks sadd
al-dzari’ah.[9]
3. Kaedah Fikih
Di antara kaedah fikih yang bisa dijadikan dasar
penggunaan sadd al-dzarỉ‘ah adalah:
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ
الْمَصَالِحِ
Menolak keburukan (mafsadah) lebih diutamakan
daripada meraih kebaikan (mashlahah).[10]
Kaedah ini merupakan
kaedah asasi yang bisa mencakup masalah-masalah turunan di bawahnya. Berbagai
kaedah lain juga bersandar pada kaedah ini. Karena itulah, sadd al-dzarỉ‘ah pun bisa disandarkan kepadanya. Hal
ini juga bisa dipahami, karena dalam sadd
al-dzarỉ‘ah terdapat unsurmafsadah yang harus dihindari.
4. Logika
Secara logika, ketika
seseorang membolehkan suatu perbuatan, maka mestinya ia juga membolehkan segala
hal yang akan mengantarkan kepada hal tersebut. Begitupun sebaliknya, jika
seseorang melarang suatu perbuatan, maka mestinya ia pun melarang segala hal
yang bisa mengantarkan kepada perbuatan tersebut. Hal ini senada dengan
ungkapan Ibnu al-Qayyim dalam kitab A’lâm
al-Mûwâqi’în: ”Ketika Allah melarang suatu hal, maka Allah pun akan
melarang dan mencegah segala jalan dan perantara yang bisa mengantarkan
kepadanya. Hal itu untuk menguatkan dan menegaskan pelarangan tersebut. Namun
jika Allah membolehkan segala jalan dan perantara tersebut, tentu hal ini
bertolak belakang dengan pelarangan yang telah ditetapkan.”[11]
Fath al-Dzarỉ‘ah
Kebalikan dari sadd al-dzarỉ‘ah adalah fath al-dzarỉ‘ah. Hal ini karena titik tolak yang
digunakan adalah al-dzarỉ‘ah. Dalam mazhab Maliki dan
Hambali, al-dzarỉ‘ah memang ada yang dilarang dan ada yang
dianjurkan. Hal
ini diungkapkan oleh al-Qarafi yang dianggap berasal mewakili mazhab Maliki dan
Ibnu al-Qayyim al-Jauzi yang dianggap mewakili mazhab Hambali. Al-dzarỉ‘ah adakalanya dilarang sehingga
pelarangan itu disebut sadd
al-dzarỉ‘ah; adakalanya
dianjurkan atau diperintahkan sehingga anjuran atau perintah itu disebut fath al-dzarỉ‘ah.[12]
Secara terminologis,
bisa dipahami bahwa fath
al-dzarỉ‘ah adalah
menetapkan hukum atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya
diperbolehkan, baik dalam bentuk membolehkan (ibâhah),menganjurkan (istihâb), maupun mewajibkan (ỉjâb) karena perbuatan tersebut bisa menjadi
sarana terjadinya perbuatan lain yang memang telah dianjurkan atau
diperintahkan.
Contoh dari fath al-dzarỉ‘ah adalah bahwa jika mengerjakan shalat
Jum’at adalah wajib, maka wajib pula berusaha untuk sampai ke masjid dan
meninggalkan perbuatan lain. Contoh lain adalah jika menuntut ilmu adalah
sesuatu yang diwajibkan, maka wajib pula segala hal yang menjadi sarana untuk
tercapai usaha menuntut ilmu, seperti membangun sekolah dan menyusun anggaran
pendidikan yang memadai.
Namun yang juga harus
digarisbawahi adalah bahwa betapapun al-dzarỉ‘ah (sarana) lebih rendah tingkatannya
daripada perbuatan yang menjadi tujuannya. Pelaksanaan atau pelarangan suatu
sarana tergantung pada tingkat keutamaan perbuatan yang menjadi tujuannya.[13]
Pembahasan tentang fath al-dzarỉ‘ah tidak mendapat porsi yang banyak di
kalangan ahli Ushûl al-Fiqh(Usul
Fikih). Hal itu
karena fath al-dzarỉ‘ah hanyalah hasil pengembangan dari konsep sadd al-dzarỉ‘ah.Sementara sadd al-dzarỉ‘ah sendiri tidak disepakati oleh seluruh
ulama sebagai metode istinbâth
hukm(penalaran hukum). Hal itu karena bagi sebagian mereka, terutama di
kalangan ulama Syafi’iyyah, masalahsadd al-dzarỉ‘ah dan fath
al-dzarỉ‘ah masuk dalam bab
penerapan kaedah:
مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إلاَّ بِهِ فَهُوَ
وَاجِبٌ
Jika suatu kewajiban tidak sempurna dilaksanakan
tanpa suatu hal tertentu, maka hal tertentu itu pun wajib pula untuk
dilaksanakan .[14]
Kaedah tersebut
berkaitan pula dengan masalah muqaddimah (pendahuluan) dari suatu
pekerjaan yang telah dibahas sebelumnya. Hal ini pula yang menjadi salah satu
faktor yang membuat perbedaan pendapat ulama terhadap kedudukan sadd al-dzarỉ‘ah dan fath
al-dzarỉ‘ah. Apa yang
dimaksudkan al-dzarỉ‘ah oleh ulama Maliki dan Hambali,
ternyata bagi ulama Syafi’i adalah sekadar muqaddimah.
C. Macam-macam al-Dzarỉ‘ah
Dilihat dari aspek akibat yang timbulkan, Ibnu
al-Qayyim mengklasifikasikan al-dzarỉ‘ah menjadi empat macam, yaitu:[15]
1.
Suatu perbuatan
yang memang pada dasarnya pasti menimbulkan kerusakan (mafsadah). Hal ini misalnya mengonsumsi
minuman keras yang bisa mengakibatkan mabuk dan perbuatan zina yang menimbulkan
ketidakjelasan asal usul keturunan.
2.
Suatu
perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan atau dianjurkan (mustahab), namun secara sengaja dijadikan
sebagai perantara untuk terjadi sesuatu keburukan (mafsadah). Misalnya menikahi perempuan
yang sudah ditalak tiga agar sang perempuan boleh dikawini (at-tahlỉl). Contoh lain adalah melakukan
jual beli dengan cara tertentu yang mengakibatkan muncul unsur riba.
3.
Suatu
perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun tidak disengaja untuk
menimbulkan suatu keburukan (mafsadah), dan pada umumnya keburukan itu
tetap terjadi meskipun tidak disengaja. Keburukan (mafsadah) yang kemungkinan terjadi
tersebut lebih besar akibatnya daripada kebaikan(mashlahah) yang diraih. Contohnya adalah
mencaci maki berhala yang disembah oleh orang-orang musyrik.
4.
Suatu
perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun terkadang bisa menimbulkan
keburukan(mafsadah). Kebaikan
yang ditimbulkan lebih besar akibatnya daripada keburukannya. Misalnya, melihat
perempuan yang sedang dipinang dan mengkritik pemimpin yang lalim.
Sedangkan dilihat dari aspek kesepakatan ulama,
al-Qarafi dan al-Syathibi membagi al-dzarỉ‘ah menjadi tiga macam, yaitu:
1.
Sesuatu
yang telah disepakati untuk tidak dilarang meskipun bisa menjadi jalan atau
sarana terjadinya suatu perbuatan yang diharamkan. Contohnya menanam anggur, meskipun
ada kemungkinan untuk dijadikan khamar; atau hidup bertetangga meskipun ada
kemungkinan terjadi perbuatan zina dengan tetangga.
2.
Sesuatu
yang disepakati untuk dilarang, seperti mencaci maki berhala bagi orang yang
mengetahui atau menduga keras bahwa penyembah berhala tersebut akan membalas
mencaci maki Allah seketika itu pula. Contoh lain adalah larangan menggali
sumur di tengah jalan bagi orang yang mengetahui bahwa jalan tersebut biasa
dilewati dan akan mencelakakan orang.
3.
Sesuatu
yang masih diperselisihkan untuk dilarang atau diperbolehkan, seperti memandang
perempuan karena bisa menjadi jalan terjadinya zina; dan jual beli berjangka
karena khawatir ada unsur riba.[16]
BAB III
Penutup dan Kesimpulan
Sadd al-dzarỉ‘ah dan fath
al-dzarỉ‘ah adalah suatu
perangkat (metode penalaran) hukum dalam Islam yang sangat bagus jika
diterapkan dengan baik, sesuai dengan rambu-rambu syara’ (agama), Keduanya bisa menjadi perangkat
yang benar-benar bisa digunakan untuk menciptakan kemashlahatan umat dan
menghindarkan kerusakan umat. Apalagi jika diterapkan oleh penguasa yang memang
hendak menciptakan kesalehan sosial secara luas di tengah masyarakat, bukan
demi kepentingan kelompok dan pribadinya.
·
sadd adz-dzari’ah adalah
menetapkan larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya
diperbolehkan untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang dilarang.
·
Macam-macam sadd al-dzarỉ‘ah terbagi menjadi dua bagian: 1) Dilihat
dari aspek akibat yang timbulkan. 2) dilihat dari aspek kesepakatan ulama
(ij’ma dan qiyas).
Jadi, Dari pembahasan yang telah kami paparkan, maka daat
ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut:
Sad Secara bahasa kata Sadd berarti menutup dan adzariah berarti wasilah atau jalalan kesuatu jalan kesuatu tujuan. Dengan demikian sadd al-zariah berarti menutup jalan yang mencapaikan kepada tujuan dengan demikian sadd- Dzariah berarti menutup jalan yang mencapai kepada tujuan, menurut imam Asy Syatibi sadd-Dzariah adalah perbuatan yang dilakukan seseorang yang sebelumnya mengandung kemaslahatan tetapi berakhir seuatu kerusakan.
Para ulama membagi dzariah berdasarkan dua segi; segi kualitas kemaf sadatan, dan segi jenis kemafsadatan.
Sad Secara bahasa kata Sadd berarti menutup dan adzariah berarti wasilah atau jalalan kesuatu jalan kesuatu tujuan. Dengan demikian sadd al-zariah berarti menutup jalan yang mencapaikan kepada tujuan dengan demikian sadd- Dzariah berarti menutup jalan yang mencapai kepada tujuan, menurut imam Asy Syatibi sadd-Dzariah adalah perbuatan yang dilakukan seseorang yang sebelumnya mengandung kemaslahatan tetapi berakhir seuatu kerusakan.
Para ulama membagi dzariah berdasarkan dua segi; segi kualitas kemaf sadatan, dan segi jenis kemafsadatan.
a. Adzariah dari segi kualitas kemafsadatan
1) Dzariah yang membawa kepada kerusakan secara pasti.
2) Dzariah yang membawa kepada kerusakan menurut biasanya.
3) Dzariah yang membawa kepada perbuatan terlarang menurut kebanyakan.
4) Dzariah yang jarang sekali membawa kepada kerusakan atau perbuatan terlarang.
b. Dzariah dari segi kemafsadatan
1) Dzariah yang memang pada dasarnya membawa kepada kerusakan.
2) Dzariah yang ditentukan untuk sesuatu yang mubah, namun ditujukan untuk perbuata buruk yang merusak, baik dengan sengaja.
3) Dzariah yang semula ditentukan untuk mubah, tidak ditujukan untuk kerusakan.
4) Dzariah yang semula ditentukan untuk mubah, namun tekandung membawa kepada keruasakan, sedangkan kerusakannya lebih kecil dibanding kebaikannya.
Daftar Pustaka
Abd al-Ghani al-Ghanimi ad-Dimasyqi al-Hanafi, al-Lubâb fi Syarh al-Kitâb, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1997.
Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm azh-Zhahiri, al-Ahkâm fi Ushûl al-Ihkâm, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,
1998.
______, al-Mahalli
bi al-Âtsâr, Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003.
Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, A’lâm al-Muwâqi’ỉn, Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1996.
Ibrahim bin Musa al-Lakhmi al-Gharnathi
al-Maliki al-Syathibi, al-Muwâfaqât
fỉ Ushûl al-Fiqh, Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt.
[3] Muhammad bin Ali al-Syaukani, Irsyâd
al-Fuhûl fỉ Tahqỉq
al-Haqq min ‘Ilm al-Ushûl, (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), hal. 295.
[4] Ibrahim
bin Musa al-Lakhmi al-Gharnathi al-Maliki (al-Syathibi), al-Muwâfaqat fỉ Ushûl al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt.),
hal. juz 3, hal. 257-258.
[5] Mukhtar
Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar
Pembinaan Hukum Islam: Fiqh Islami, (Bandung:
PT. Al-Ma’arif, 1986), hal. 347.
[6] Abu
Abdillah Muhammad bin Umar bin al-Hasan bin al-Husain al-Taimi al-Razi, Mafâtih al-Ghaib (Tafsỉr
al-Râziy), juz II,
hal. 261 dalam al-Maktabah
al-Syâmilah, versi
2.09.
[7] Muhammad
bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farh Al-Qurthubi, al-Jâmi’
li Ahkâm al-Qurân, juz
II, hal. 56 dalamibid.
[8] Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari
al-Ju’fi, al-Jâmi’ ash-Shahỉh al-Mukhtashar, (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987),
juz V, hal. 2228.
[10] Jalaluddin
al-Suyuthi, al-Asybâh wa
an-Nazhâir, (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt), hal. 176.
[11] Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, A’lâm al-Muwâqi’ỉn, hal. 103.
[12] Al-Qarafi, Anwâr
al-Burûq fi Anwâ’ al-Furûq., juz
III, hal. 46; dan Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, A’lâm
al-Muwâqi’ỉn, hal.
104.
[13] Al-Qarafi, Anwâr al-Burûq fi Anwâ’
al-Furûq., hal.
46
[14] Muhammad bin Bahadur bin Abdullah Al-Zarkasyi, al-Bahr al-Muhỉth, (Beirut: Dar al-Kutub
al-’Ilmiyyah, tt), juz VII, hal. 358.
[15] Ibid., hal. 104.
[16] Al-Qarafi, Anwâr al-Burûq fi Anwâ’
al-Furûq, juz VI, hal. 319 dalam al-Maktabah al-Syâmilah, versi 2.09.; al-Syathibi, al-Muwafaqât.,
juz II, hal. 390.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar