BLOG DALAM MASA PERBAIKAN!!

Sabtu, 16 November 2013

Makalah Al-Dzari’ah (Pengertian, Kedudukan sebagai sumber hukum dan Macam-macamnya)



Bab I
Pendahuluan

Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, realita kehidupan sosial semakin tampak. Di zaman globalisasi dan modern seperti sekarang ini banyak timbul masalah-masalah yang sebelumnya tidak dibahas secara detail oleh Al Qur’an dan as-Sunnah. Sehingga untuk memecahkan masalaah tersebut dalam perkembangannya para ulama banyak mengembangkan berbagai teori, metode, dan prinsip hukum yang sebelumnya tidak dirumuskan secara sistematis, baik dalam al-Quran maupun as-Sunnah.
Di antara metode penetapan hukum yang dikembangkan para ulama adalah sadd al-dzari’ah dan fath al-dzari’ah. Dan tujuan penetapan hukum adalah untuk memperoleh kemashlahatan dan menghindarkan kemadharatan. Dengan memakani al-Dzarî’ah, baik dalam pengertian Fath al-Dzarî’ah maupun  Sadd al-Dzarî’ah, diharapkan tercapai kemashlahatan atau terjauhkannya kemungkinan terjadinya kerusakan, atau terhindarnya dari kemungkinan terjadinya perbuatan maksiat akan lebih dimungkinkan untuk kita peroleh. Dengan kata lain, penerapan penalaran hukum al-Dzarî’ah ini dimungkinkan untuk mengantisipasi terjadinya kerusakan dan terciptanya kebaikan.


  
Bab II
Pembahasan

   A.   Pengertian
Secara etimologi (bahasa), dzari’ah berarti “jalan yang menuju kepada sesuatu.” Ada juga yang mengkhususkan pengertian dzari’ah dengan “sesuatu yang membawa kepada yang dilarang dan mengandung kemudaratan.” Akan tetapi Ibn Qayyim al-Jauziyah (ahli fiqh) mengatakan bahwa pembatasan pengertian dzari’ah kepada sesuatu yang dilarang saja tidak tepat, karena ada juga dzari’ah yang bertujuan kepada yang dianjurkan.[1] Oleh sebab itu, menurutnya pengertian dzari’ah lebih baik dikemukakan yang bersifat umum , sehingga dzari’ah itu mengandung dua pengertian, yaitu: yang dilarang (sadd al-dzariah) dan yang dituntut untuk dilaksanakan (fath al-dzari’ah).
Secara Terminologi (istilah), Menurut al-Qarafi, sad dzari’ah adalah memotong jalan kerusakan (mafsadah) sebagai cara untuk menghindari kerusakan tersebut.[2] Menurut asy-Syaukani, adz-dzari’ah adalah masalah atau perkara yang pada dasarnya dibolehkan namun akan mengantarkan kepada perbuatan yang dilarang.[3]
Dalam karyanya al-muwafat, asy-Syatibi menyatakan bahwa sad adz-dzari’ah adalah menolak sesuatu yang boleh agar tidak mengantarkan kepada sesuatu yang dilarang.[4] Menurut Yahya dan Fatchurrahman, sad adz-dzari’ah adalah menutup jalan yang menuju kepada perbuatan yang terlarang.[5]
Dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami bahwa sadd adz-dzari’ah adalah menetapkan larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang dilarang.

   B.   Kedudukan sebagai sumber hukum
Kedudukan Sadd al-Dzarỉ‘ah
Sebagaimana halnya dengan qiyas, dilihat dari aspek aplikasinya, sadd al-dzarỉ‘ah merupakan salah satu metode pengambilan keputusan hukum (istinbâth al-hukm) dalam Islam. Namun dilihat dari di sisi produk hukumnya, sadd al-dzarỉ‘ah adalah salah satu sumber hukum.
Tidak semua ulama sepakat dengan sadd al-dzarỉ‘ah sebagai metode dalam menetapkan hukum. Secara umum berbagai pandangan ulama tersebut bisa diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu 1) yang menerima sepenuhnya; 2) yang tidak menerima sepenuhnya; 3) yang menolak sepenuhnya.
Kelompok pertama, yang menerima sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Maliki dan mazhab Hambali. Para ulama di kalangan Mazhab Maliki bahkan mengembangkan metode ini dalam berbagai pembahasan fikih dan ushul fikih mereka sehingga bisa diterapkan lebih luas.
Kelompok kedua, yang tidak menerima sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i. Dengan kata lain, kelompok ini menolak sadd al-dzarỉ‘ah sebagai metode istinbath pada kasus tertentu, namun menggunakannya pada kasus-kasus yang lain.
Kelompok ketiga, yang menolak sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Zhahiri. Hal ini sesuai dengan prinsip mereka yang hanya menetapkan hukum berdasarkan makna tekstual(zhâhir al-lafzh). Sementara sadd al-dzarỉ‘ah adalah hasil penalaran terhadap sesuatu perbuatan yang masih dalam tingkatan dugaan, meskipun sudah sampai tingkatan dugaan yang kuat. Dengan demikian, bagi mereka konsep sadd al-dzarỉ‘ah adalah semata-mata produk akal dan tidak berdasarkan pada nashsecara langsung.


 Dasar Hukum Sadd al-Dzarỉ‘ah
1. Al-Quran
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. al-An’âm, 6: 108).

Pada ayat di atas, mencaci maki tuhan atau sembahan agama lain adalah al-dzari’ah yang akan menimbulkan adanya sesuatu mafsadah yang dilarang, yaitu mencaci maki Tuhan. Sesuai dengan teori psikologi mechanism defense, orang yang Tuhannya dicaci kemungkinan akan membalas mencaci Tuhan yang diyakini oleh orang sebelumnya mencaci. Karena itulah, sebelum balasan caci maki itu terjadi, maka larangan mencaci maki tuhan agama lain merupakan tindakan preventif (sadd al-dzari’ah).
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Râ’inâ”, tetapi katakanlah: “Unzhurnâ”, dan “Dengarlah”. Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.” (QS. al-Baqarah, 2: 104).

Pernyataan Allah pada QS al-Baqarah, 2: 104 di atas, bisa dipahami adanya suatu bentuk pelarangan terhadap sesuatu perbuatan karena adanya kekhawatiran terhadap dampak negatif yang akan terjadi. Katarâ ‘inâ (رَاعِنَا) berarti: “Sudilah kiranya kamu memperhatikan kami.” Saat para sahabat menggunakan kata ini terhadap Rasulullah, orang Yahudi pun memakai kata ini dengan nada mengejek dan menghina Rasulullah s.a.w. Mereka menggunakannya dengan maksud kata râ ‘inâ (رَعِنًا) sebagai bentuk isim fâ’il darimasdar kata  ru’ûnah (رُعُوْنَة) yang berarti bodoh.[6] 
Karena itulah, Tuhan pun menyuruh para sahabat Nabi SAW mengganti kata râ’inâ yang biasa mereka pergunakan dengan unzhurnâ yang juga berarti sama dengan râ’inâ. Dari latar belakang dan pemahaman demikian, ayat ini menurut al-Qurthubi dijadikan dasar dari sadd al-dzarỉ‘ah.[7]

2.  As-Sunnah
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِنْ أَكْبَرِ الْكَبَائِرِ أَنْ يَلْعَنَ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللهِ وَكَيْفَ يَلْعَنُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قَالَ يَسُبُّ الرَّجُلُ أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُّ أَبَاهُ وَيَسُبُّ أُمَّهُ
Dari Abdullah bin Amr RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Termasuk di antara dosa besar seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya.” Beliau kemudian ditanya, “Bagaimana caranya seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya?” Beliau menjawab, “Seorang lelaki mencaci maki ayah orang lain, kemudian orang yang dicaci itu pun membalas mencaci maki ayah dan ibu tua lelaki tersebut.”[8]
Hadis ini dijadikan oleh Imam Syathibi sebagai salah satu dasar hukum bagi konsep sadd al-dzarỉ‘ah.Berdasarkan hadits tersebut, menurut tokoh ahli fikih dari Spanyol itu, dugaan (zhann) bisa digunakan sebagai dasar untuk penetapan hukum dalam konteks sadd al-dzari’ah.[9]
3.  Kaedah Fikih
Di antara kaedah fikih yang bisa dijadikan dasar penggunaan sadd al-dzarỉ‘ah adalah:
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ
Menolak keburukan (mafsadah) lebih diutamakan daripada meraih kebaikan (mashlahah).[10]
Kaedah ini merupakan kaedah asasi yang bisa mencakup masalah-masalah turunan di bawahnya. Berbagai kaedah lain juga bersandar pada kaedah ini. Karena itulah, sadd al-dzarỉ‘ah pun bisa disandarkan kepadanya. Hal ini juga bisa dipahami, karena dalam sadd al-dzarỉ‘ah terdapat unsurmafsadah yang harus dihindari.


4. Logika
Secara logika, ketika seseorang membolehkan suatu perbuatan, maka mestinya ia juga membolehkan segala hal yang akan mengantarkan kepada hal tersebut. Begitupun sebaliknya, jika seseorang melarang suatu perbuatan, maka mestinya ia pun melarang segala hal yang bisa mengantarkan kepada perbuatan tersebut. Hal ini senada dengan ungkapan Ibnu al-Qayyim dalam kitab A’lâm al-Mûwâqi’în: ”Ketika Allah melarang suatu hal, maka Allah pun akan melarang dan mencegah segala jalan dan perantara yang bisa mengantarkan kepadanya. Hal itu untuk menguatkan dan menegaskan pelarangan tersebut. Namun jika Allah membolehkan segala jalan dan perantara tersebut, tentu hal ini bertolak belakang dengan pelarangan yang telah ditetapkan.”[11]
Fath al-Dzarỉ‘ah
Kebalikan dari sadd al-dzarỉ‘ah adalah fath al-dzarỉ‘ah. Hal ini karena titik tolak yang digunakan adalah al-dzarỉ‘ah. Dalam mazhab Maliki dan Hambali, al-dzarỉ‘ah memang ada yang dilarang dan ada yang dianjurkan. Hal ini diungkapkan oleh al-Qarafi yang dianggap berasal mewakili mazhab Maliki dan Ibnu al-Qayyim al-Jauzi yang dianggap mewakili mazhab Hambali. Al-dzarỉ‘ah adakalanya dilarang sehingga pelarangan itu disebut sadd al-dzarỉ‘ah; adakalanya dianjurkan atau diperintahkan sehingga anjuran atau perintah itu disebut fath al-dzarỉ‘ah.[12]
Secara terminologis, bisa dipahami bahwa fath al-dzarỉ‘ah adalah menetapkan hukum atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan, baik dalam bentuk membolehkan (ibâhah),menganjurkan (istihâb), maupun mewajibkan (ỉjâb) karena perbuatan tersebut bisa menjadi sarana terjadinya perbuatan lain yang memang telah dianjurkan atau diperintahkan.
Contoh dari fath al-dzarỉ‘ah adalah bahwa jika mengerjakan shalat Jum’at adalah wajib, maka wajib pula berusaha untuk sampai ke masjid dan meninggalkan perbuatan lain. Contoh lain adalah jika menuntut ilmu adalah sesuatu yang diwajibkan, maka wajib pula segala hal yang menjadi sarana untuk tercapai usaha menuntut ilmu, seperti membangun sekolah dan menyusun anggaran pendidikan yang memadai.
Namun yang juga harus digarisbawahi adalah bahwa betapapun al-dzarỉ‘ah (sarana) lebih rendah tingkatannya daripada perbuatan yang menjadi tujuannya. Pelaksanaan atau pelarangan suatu sarana tergantung pada tingkat keutamaan perbuatan yang menjadi tujuannya.[13]
Pembahasan tentang fath al-dzarỉ‘ah tidak mendapat porsi yang banyak di kalangan ahli Ushûl al-Fiqh(Usul Fikih). Hal itu karena fath al-dzarỉ‘ah hanyalah hasil pengembangan dari konsep sadd al-dzarỉ‘ah.Sementara sadd al-dzarỉ‘ah sendiri tidak disepakati oleh seluruh ulama sebagai metode istinbâth hukm(penalaran hukum). Hal itu karena bagi sebagian mereka, terutama di kalangan ulama Syafi’iyyah, masalahsadd al-dzarỉ‘ah dan fath al-dzarỉ‘ah masuk dalam bab penerapan kaedah:
مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Jika suatu kewajiban tidak sempurna dilaksanakan tanpa suatu hal tertentu, maka hal tertentu itu pun wajib pula untuk dilaksanakan .[14]
Kaedah tersebut berkaitan pula dengan masalah muqaddimah (pendahuluan) dari suatu pekerjaan yang telah dibahas sebelumnya. Hal ini pula yang menjadi salah satu faktor yang membuat perbedaan pendapat ulama terhadap kedudukan sadd al-dzarỉ‘ah dan fath al-dzarỉ‘ah. Apa yang dimaksudkan al-dzarỉ‘ah oleh ulama Maliki dan Hambali, ternyata bagi ulama Syafi’i adalah sekadar muqaddimah.

C. Macam-macam al-Dzarỉ‘ah
Dilihat dari aspek akibat yang timbulkan, Ibnu al-Qayyim mengklasifikasikan al-dzarỉ‘ah menjadi empat macam, yaitu:[15]
1.      Suatu perbuatan yang memang pada dasarnya pasti menimbulkan kerusakan (mafsadah). Hal ini misalnya mengonsumsi minuman keras yang bisa mengakibatkan mabuk dan perbuatan zina yang menimbulkan ketidakjelasan asal usul keturunan.
2.      Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan atau dianjurkan (mustahab), namun secara sengaja dijadikan sebagai perantara untuk terjadi sesuatu keburukan (mafsadah). Misalnya menikahi perempuan yang sudah ditalak tiga agar sang perempuan boleh dikawini (at-tahlỉl). Contoh lain adalah melakukan jual beli dengan cara tertentu yang mengakibatkan muncul unsur riba.
3.      Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun tidak disengaja untuk menimbulkan suatu keburukan (mafsadah), dan pada umumnya keburukan itu tetap terjadi meskipun tidak disengaja. Keburukan (mafsadah) yang kemungkinan terjadi tersebut lebih besar akibatnya daripada kebaikan(mashlahah) yang diraih. Contohnya adalah mencaci maki berhala yang disembah oleh orang-orang musyrik.
4.      Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun terkadang bisa menimbulkan keburukan(mafsadah). Kebaikan yang ditimbulkan lebih besar akibatnya daripada keburukannya. Misalnya, melihat perempuan yang sedang dipinang dan mengkritik pemimpin yang lalim.
Sedangkan dilihat dari aspek kesepakatan ulama, al-Qarafi dan al-Syathibi membagi al-dzarỉ‘ah menjadi tiga macam, yaitu:
1.      Sesuatu yang telah disepakati untuk tidak dilarang meskipun bisa menjadi jalan atau sarana terjadinya suatu perbuatan yang diharamkan. Contohnya menanam anggur, meskipun ada kemungkinan untuk dijadikan khamar; atau hidup bertetangga meskipun ada kemungkinan terjadi perbuatan zina dengan tetangga.
2.      Sesuatu yang disepakati untuk dilarang, seperti mencaci maki berhala bagi orang yang mengetahui atau menduga keras bahwa penyembah berhala tersebut akan membalas mencaci maki Allah seketika itu pula. Contoh lain adalah larangan menggali sumur di tengah jalan bagi orang yang mengetahui bahwa jalan tersebut biasa dilewati dan akan mencelakakan orang.
3.      Sesuatu yang masih diperselisihkan untuk dilarang atau diperbolehkan, seperti memandang perempuan karena bisa menjadi jalan terjadinya zina; dan jual beli berjangka karena khawatir ada unsur riba.[16]



BAB III
Penutup dan Kesimpulan
Sadd al-dzarỉ‘ah dan fath al-dzarỉ‘ah adalah suatu perangkat (metode penalaran) hukum dalam Islam yang sangat bagus jika diterapkan dengan baik, sesuai dengan rambu-rambu syara’ (agama), Keduanya bisa menjadi perangkat yang benar-benar bisa digunakan untuk menciptakan kemashlahatan umat dan menghindarkan kerusakan umat. Apalagi jika diterapkan oleh penguasa yang memang hendak menciptakan kesalehan sosial secara luas di tengah masyarakat, bukan demi kepentingan kelompok dan pribadinya.
·         sadd adz-dzari’ah adalah menetapkan larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang dilarang.
·         Macam-macam  sadd al-dzarỉ‘ah terbagi menjadi dua bagian: 1) Dilihat dari aspek akibat yang timbulkan. 2) dilihat dari aspek kesepakatan ulama (ij’ma dan qiyas).
Jadi, Dari pembahasan yang telah kami paparkan, maka daat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut:
Sad Secara bahasa kata Sadd berarti menutup dan adzariah berarti wasilah atau jalalan kesuatu jalan kesuatu tujuan. Dengan demikian sadd al-zariah berarti menutup jalan yang mencapaikan kepada tujuan dengan demikian sadd- Dzariah berarti menutup jalan yang mencapai kepada tujuan, menurut imam Asy Syatibi sadd-Dzariah adalah perbuatan yang dilakukan seseorang yang sebelumnya mengandung kemaslahatan tetapi berakhir seuatu kerusakan.
Para ulama membagi dzariah berdasarkan dua segi; segi kualitas kemaf sadatan, dan segi jenis kemafsadatan.

a. Adzariah dari segi kualitas kemafsadatan
1) Dzariah yang membawa kepada kerusakan secara pasti.
2) Dzariah yang membawa kepada kerusakan menurut biasanya.
3) Dzariah yang membawa kepada perbuatan terlarang menurut kebanyakan.
4) Dzariah yang jarang sekali membawa kepada kerusakan atau perbuatan terlarang.
b. Dzariah dari segi kemafsadatan
1) Dzariah yang memang pada dasarnya membawa kepada kerusakan.
2) Dzariah yang ditentukan untuk sesuatu yang mubah, namun ditujukan untuk perbuata buruk yang merusak, baik dengan sengaja.
3) Dzariah yang semula ditentukan untuk mubah, tidak ditujukan untuk kerusakan.
4) Dzariah yang semula ditentukan untuk mubah, namun tekandung membawa kepada keruasakan, sedangkan kerusakannya lebih kecil dibanding kebaikannya.



 


Daftar Pustaka
Abd al-Ghani al-Ghanimi ad-Dimasyqi al-Hanafi, al-Lubâb fi Syarh al-Kitâb, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1997.
Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm azh-Zhahiri, al-Ahkâm fi Ushûl al-Ihkâm, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998.
______, al-Mahalli bi al-Âtsâr, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003.
Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, A’lâm al-Muwâqi’ỉn, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996.
Ibrahim bin Musa al-Lakhmi al-Gharnathi al-Maliki al-Syathibi, al-Muwâfaqât fỉ Ushûl al-Fiqh, Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt.


[1] Ibn Qayyim al-Jauziyah, jilid III, hal. 147
[2] Al-Qarafi, Tanqỉh al-Fushûl fỉ ‘Ilm al-Ushûl, loc. cit.
[3] Muhammad bin Ali al-Syaukani, Irsyâd al-Fuhûl fỉ Tahqỉq al-Haqq min ‘Ilm al-Ushûl, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), hal. 295.
[4] Ibrahim bin Musa al-Lakhmi al-Gharnathi al-Maliki (al-Syathibi), al-Muwâfaqat fỉ Ushûl al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt.), hal. juz 3, hal. 257-258.
[5] Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam: Fiqh Islami, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1986), hal. 347.

[6] Abu Abdillah Muhammad bin Umar bin al-Hasan bin al-Husain al-Taimi al-Razi, Mafâtih al-Ghaib (Tafsỉr al-Râziy), juz II, hal. 261 dalam al-Maktabah al-Syâmilah, versi 2.09.
[7] Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farh Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qurân, juz II, hal. 56 dalamibid.
[8] Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-Ju’fi, al-Jâmi’ ash-Shahỉh al-Mukhtashar, (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987), juz V, hal. 2228.
[9] Al-Syathibi, al-Muwâfaqât, juz II, hal. 360.
[10] Jalaluddin al-Suyuthi, al-Asybâh wa an-Nazhâir, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt), hal. 176.

[11] Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, A’lâm al-Muwâqi’ỉn, hal. 103.
[12] Al-Qarafi, Anwâr al-Burûq fi Anwâ’ al-Furûq., juz III, hal. 46; dan Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, A’lâm al-Muwâqi’ỉn, hal. 104.
[13] Al-Qarafi, Anwâr al-Burûq fi Anwâ’ al-Furûq., hal. 46
[14] Muhammad bin Bahadur bin Abdullah Al-Zarkasyi, al-Bahr al-Muhỉth, (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, tt), juz VII, hal. 358.
[15] Ibid., hal. 104.
[16] Al-Qarafi, Anwâr al-Burûq fi Anwâ’ al-Furûq, juz VI, hal. 319 dalam al-Maktabah al-Syâmilah, versi 2.09.; al-Syathibi, al-Muwafaqât., juz II, hal. 390.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar