BAB I PENDAHULUAN
Sebagaimana yang sudah dipelajari sebelumnya bahwa
tasawuf adalah ilmu yang membicarakan jalan mendekatkan diri kepada Tuhan yang ditempuh
dengan penyucian hati. Dekat dalam arti disini adalah dekat dalam memperoleh
pengalaman rohani merasakan kehadiran Tuhan dan melihatNya dengan hati kita.
Menurut para sufi, jalan mendekatkan diri kepada
Tuhan (thariqah) ditempuh dengan
menjalani tahapan-tahapan (maqamat), antara
lain:
1. Taubat
(meninggalkan dosa)
2. Wara
(meninggalkan segala sesuatu yang syubhat)
3. Zuhud
(tidak cinta terhadap dunia)
4. Sabar
(keteguhan hati dalam menghadapi cobaan)
5. Faqr
(kesadaran membutuhkan Allah)
6. Tawakal
(bergantung hanya kepada Allah), dan
7. Ridha
(rela kepada takdir Allah)
Untuk menempuh jalan tersebut diperlukan latihan
rohani secara bertahap, perjuangan rohani dalam menempuh tahapan diatas antara
lain seperti sedikit makan, sedikit bicara, sedikit tidur, dan mengasingkan
diri dari makhluk. Secara keseluruhan ialah bahwa seorang sufi harus menjaga
dirinya dari godaan hawa nafsu dan dengan sungguh-suguh memusatkan pikiran dan
perasaan kepada Allah SWT.
BAB
II PEMBAHASAN
Berbicara tentang tasawuf dalam Islam, perlu
ditekankan bahwa jalan mendekatkan diri kepada Tuhan (thariqah) terdiri dari ajaran dan amalan yang tercakup dalam
syari’ah. Penerapan prinsip ini ialah bahwa dalam menempuh thariqah mesti
diutamakan mengerjakan kewajiban-kewajiban yang diperintahkan syari’ah dan
meninggalkan segala sesuatu yang dilarang. Sesudah itu menyempurnakannya dengan
amalan sunnah. Thariqah sebagai suatu
jalan khusus tidak boleh meninggalkna syari’ah, merupakan jalan utama yang
harus dipatuhi oleh setiap orang yang beriman.
A. Dekat
dengan Tuhan
Dekat dengan Tuhan dalam hal ini
bukan dari segi fisik melainkan dari segi rohani. Dalam membicarakan kedekatan
hamba dengan Tuhan terdapat beberapa penjelasan. Pertama, dekat dengan Tuhan dalam arti cinta dan ketulusan hati
menjalankan kepatuhan kepada Tuhan dan menjauhi segala larangan. Kedua, dekat dengan Tuhan dalam arti
memperoleh pengetahuan secara langsung dari Tuhan yang diilhamkan kedalam hati.
Peng-amalan rohani mengetahui Tuhan secara langsung (dengan penglihatan hati),
dalam istilah tasawuf dinamakan ma’rifah.
Ketiga, dekat dengan Tuhan dalam arti
bersatu secara rohani dengan Tuhan.
B. Cinta
kepada Tuhan
Para sufi adalah orang-orang yang
mencintai Tuhan dan Tuhan mencintainya. Sebagaimana telah tersebut dalam
Al-Qur’an surat Al Baqarah ayat 165 artinya “Dan orang-orang beriman itu sangat
mencintai Allah”. Dalam ayat lain disebutkan juga surat Al Ma’idah ayat 54
artinya “akan dating suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka
mencintai Allah”.
Tuhan adalah Dzat yang Maha Agung
dan Maha Mulia, lebih Agung dan lebih Mulia dari segala sesuatu. Oleh karena
itu Tuhan adalah yang paling berhak dicintai. Bagi para sufi, cinta yang
sesungguhnya hanya ditujukan kepada Tuhan. Tanda-tanda orang yang mencintai
sesuatu:
1. Senantiasa
ingat kepada yang dicintai.
2. Selalu
patuh dan taat kepada yang dicintai.
3. Berbuat
sesuatu semata-mata karena yang dicintai.
4. Selalu
ingin bertemu dan merasa gembira serta ketentraman dalam kebersamaan dengan
yang dicintai.
5. Menyatukan
khendak dan membayangkan yang dicintai dalam segala sesuatu yang dilihatnya.
Orang yang mencintai Allah
senantiasa ingat hatinya kepada Allah. Ia senantiasa berdzikir menyebut namaNya
dan merenungkan sifat-sifatNya. Sebagaimana dikatakan: “barangsiapa yang
mencintai Allah , ia banyak berdzikir, mengingat dan menyebut namaNya”
Al-Junaid berkata: “Sesungguhnya Allah dekat di hati hambaNya sebagaimana
dekatnya hati hamba kepada Allah, maka lihatlah dekatnya Allah itu di dalam
hatimu.”
C. Cinta
kepada Rasulullah SAW
Kata Imam al-Ghazali “cinta kepada
Rasulullah hakikatnya adalah mencintai Allah SWT”. Demikian juga cinta kepada
para Ulama dan cinta kepada orang-orang yang bertaqwa.” Al-Ghazali menjelaskan bahwa cinta
pada hakikatnya hanya ditujukan kepada Allah SWT, karena Allah yang paling berhak
untuk dicintai. Adapun cinta kepada sesama makhluk sesungguhnya dimaksudkan
sebagai wasilah yang membawa cinta kepada Allah sendiri.
D. Ma’rifah
Ma’rifah
secara harfiah berarti mengetahui atau
pengetahuan. Yang dimaksud disini adalah mengetahui tentang Tuhan (marifatullah). Ma’rifah merupakan
pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman langsung, dalam hal ini adalah
pengalaman rohani. Objek yang diketahui adalah sesuatu yang dirasakan atau
dilihat dengan penglihatan hati. Orang yang memperoleh ma’rifah disebut Al-Arif atau Al-Arif Billah, yaitu orang yang mengetahui Tuhan dengan
penglihatan hati.
Menurut Dzun Nun seorang ahli sufi,
bahwa pengetahuan tentang Tuhan dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu
pengetahuan awam diperoleh dengan mendengar berita, pengetahuan tentang filosof
diperoleh dengan penalaraan, dan pengetahuan sufi diperoleh dengan penyucian
hati, mereka (sufi) mendambakan pengetahuan tentang Tuhan secara langsung
dengan penglihatan hati, pengetahuan inilah yang disebut dengan ma’rifah. Dzun Nun berkata “Ma’rifah
ialah pengetahuan tentang sifat-sifat keesaan Allah yang diberikan khusus
kepada wali Allah. Mereka menyaksikan Allah dengan hatinya sehingga terbuka
kepada mereka apa yang tidak dibuka oleh Allah kepada hambaNya yang lain.”
Dzun Nun berkata “sufi adalah
sebuah nama yang mengandung tiga pengertian, yaitu pertama, orang yang cahaya ma’rifahnya tidak mematikan cahaya wara’ nya, kedu; kedua, ia tidak
berbicara dengan pengetahuan batin yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan
sunnah; ketiga, ia tidak menggunakan karamah yang diberi Allah untuk melanggar
larangan Allah.”
E. Alat
untuk memperoleh Ma’rifah
Menurut ahli tasawuf alat yang
dipergunakan untuk mengetahui Tuhan ialah dengan hati (qalb/kalbu). Manusia diberi berbagai macam panca indera untuk
mengetahui dan merasakan sesuatu. Dan salah satunya manusia diberi oleh Allah
hati untuk mengetahui perkara-perkara yang ghaib. Hati mempunyai mata yang
dapat melihat sesuatu yang abstrak, sesuatu yang bersifat rohani, sebagaimana
mata dapat melihat sesuatu yang konkrit.
Selain hati (qalb) juga terdapat nafs dan
ruh dalam jiwa rohani manusia. Qalb adalah daya rohani yang berfungsi
memahami dan merasakan. Nafs adalah
daya rohani manusia yang berkaitan dengan keinginan atau kehendak. Ruh adalah daya rohani yang memancarkan
kehidupan.
Menurut al-Qusyairi ada tiga macam
alat yang dipergunakan untuk berkomunikasi dengan Tuhan, yaitu qalb, ruh dan sir. Qalb untuk
mengetahui sifa-sifat Tuhan, ruh
untuk mencintai Tuhan, dan sir untik
berkontemplasi tentang Tuhan. Harun Nasution menjelaskan bahwa sir lebih halus
daripada ruh, dan ruh lebih halus daripada qalb. Sir dapat menerima pancaran
cahaya dari Allah apabila qalb dan ruh telah suci dari perbuatan terlarang.
Diwaktu itulah Allah menurunkan cahaya kepada sufi, dengan cahaya itu ia
melihat Allah. Maka sampailah ia ketingkat Ma’rifah.
F. Musyahadah
Istilah lain dari ma’rifah adalah musyhadah yang berarti penyaksian. Yang
dimaksud dengan penyaksian adalah penyaksian dengan penglihatan hati. Pada
tingkatan ini, sufi mempunyai kesadaran melihat dengan penglihatan hati bahwa
pada setiap ciptaan atau makhluk ada tanda-tanda yang menunjukan kehadiran sang
Pencipta. Abu Nashr Al-Sarraj berkata “kata para sufi yang memperoleh ma’rifah, mereka berkata bahwa mereka
itu melihat Allah dalam segala sesuatu dan bahwa segala sesuatu itu nerupakan
pertanda daripadaNya.” Menurut Al-Ghazali, musyahadah
adalah anugerah rohani yang sebesar-besarnya yang dirasakan oleh manusia di
dunia. Orang yang mendapatkan karunia itu di dunia akan merasakan kelezatan
penyaksian yang lebih besar lagi kelak di akhirat.
G. Kasyf
Kasyf
yang berarti terbukanya tabir, yaitu tabir yang menghalangi hamba dengan Tuhan.
Dinamakan kasyf karena merupakan pengalaman penyaksian secara langsung kepada
objek yang diketahui. Kasyf terbagi menjadi dua, yang pertama kasyf dalam
bentuk rendah, yaitu terbuka hijab kepada alam ghaib, misalnya terhadap alam
kubur, alam arwah, suga, neraka dsb. Kedua, kasyf dalam bentuk yang tinggi,
yakni menyaksikan sifat dan nama Allah dalam setiap makhlukNya.
H. Hijab
yang mengalingi manusia dari Tuhan
Syaikh Zarruq menjelaskan bahwa
hijab yang mengalingi manusia dari Allah itu ada dua macam. Pertama hijabnya
mata (bashar), yaitu kelemahan atau keterbatasan mata, maka tidak dapat melihat
perkara yang ghaib. Hijabnya mata adalah sesuatu yang dzati sifatnya, tidak
akan hilang, kecuali, dengan takdir Allah, diakhirat nanti. Kedua, hijabnya
penglihatan hati (bashirah), yaitu ‘aib yang terdapat di dalam diri manusia.
Hijabnya bashirah adalah sesuatu yang ‘aridh, sesuatu yang datang kemudian.
I. Ma’rifah
adalah kekaguman
Dzun Nun berkata :” Semakin banyak
mengetahui tentang Tuhan, semakin kagum tentang Tuhan.” Yang dimaksud ialah
bahwa manusia tidak dapat mengetahui Tuhan dengan pengetahuan yang sempurna.
Apa yang dapat diketahui hanyalah sedikit saja dari tanda-tanda kekuasaan dan
keagungan-Nya. Semakin banyak dia mengetahui tantang Tuhan, ia semakin kagum,
yakni semakin menyadari banyak hal yang tidak diketahuinya tentang Tuhan.
J. Karamah
Karamah
merupakan anugerah yang diberikan kepada hambaNya berupa ilmu, kekuasaan,
terkabulnya doa dan sebagainya. Misalnya pengetahuan tentang sesuatu yang
terjadi pada masa yang lalu atau yang akan ter jadi di masa yang akan datang.
Hala yang demikian itu terjadi pada sufi dan para wali, sebagai anugerah
kemuliaan yang diberikan oleh Allah kepadaNya. Ahli tasawuf berkata “ Jadilah
engkau orang yang mencari istiqomah, bukan orang yang mencari karomah karena
sesungguhnya istiqomah itu adalah karomah yang sebesar-besarnya dari Allah
kepada hambanya.”
K. Bersatu
dengan Tuhan
Yang
dimaksud bersatu dengan tuhan ialah suatu keadaan hati yang ditandai dengan
leburnya sifat tuhan kedalam sifat hambanya (yang mencintai). Abu sa’id
Al-kharraj berkata ”barang siapa menyaksikan Allah dengan hatinya, maka
lenyapnya segalah sesuatau selain Allah, dan leburlah segala sesuatu dalam
keagungan Allah, sehingga tidak ada didalam hatinya kecuali Allah.” Yang
dimaksud bersatu denagan tuhan disini ialah suatu keadaan dimana seorang hamba
berada dalam keasdaan sedekat-dakatnya dengan tuhan. Setiap ucapannya disinari
oleh cahaya ilahi serta gerak gerik dan perbuatannya dibimbing oleh cahaya
ilahi.
L. Tauhid
menurut para Sufi
Al-Ghozali menggolongkan tauhid dalam empat
macam: pertama, tauhid dalam mengucapkan dalam lailahailla Allah dengan lisan
tapi hatinya lupa kepada Allah.ini adalah tauhidnya orang munafik. Kedua, tauhid
dalam mengucapkan dalam lailahailla Allah dan hatinya beriman kepada Allah. Ini
adalah tauhidnya orang awam. Ketiga, tauhid yang diperoleh dengan jalan kasyf,
yaitu datangnya cahaya Allah ke dalam hati sehingga orang yang mengalami
keadaan ini melihat gejala yang beraneka ragam dalam alam semesta ini sebagai
wujud yang berasal dari Allah. Keempat, dalam arti fana’ fil Al-Tauhid, yaitu kesadaran tauhid yang dialami oleh
orang-orang yang mengalami keadaan fana. Ia
tidak menyadari wujud dirinya dan tidak menyadari wujud makhluk sebagai wujud
yang sebenarnya. Ia tidak menyaksikan
sesuatu kecuali Allah. Inilah yang dimaksud dengan penyaksian kepada Allah SWT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar