Beliau lahir pada hari selasa, 23 September 1919 di Pematang Siantar, Sumatra Utara. Putra dari Abdul Jabar Ahmad, seorang pedagang dari Mandailing dan Qodhi (Penghulu), pada masa pemerintahan Belanda di kabupaten Simalungun, Pematang Siantar, seorang Ulama yang menguasai kitab-kitab Jawa dan suka membaca kitab Kuning berbahasa Melayu. Sedangkan Ibunya seorang Boru Mandailing Tapanuli, Maimunah keturunan seorang Ulama, ibunya pernah bermukim di Mekkah, dan mengikuti beberapa kegiatan di Masjidil Haram.
Harun
Nasution berasal dari keturunan yang taat beribadah, keturunan orang terhormat
dan mempunyai strategi ekonomi yang lumayan. Kondisi keluarganya yang seperti
itu membuat Harun bisa lancar dalam melanjutkan cita-citanya mendalami ilmu
pengetahuan.
Harun
Nasution memulai pendidikannya di sekolah Belanda, Hollandsch Inlandche
School (HIS), pada waktu berumur tujuh tahun. Selama tujuh tahun, Harun
belajar bahasa Belanda dan ilmu pengetahuan umum di sekolah itu. Dia berada
dalam lingkungan disiplin yang tepat di lingkungan keluarga, Harun memulai
pendidikan agama dari lingkungan keluarganya dengan belajar mengaji, shalat dan
ibadah lainnya. Setelah tamat di HIS, Harun mempunyai keinginan untuk
meneruskan sekolah ke MULO, akan tetapi orang tuanya tidak merestui
keinginannya karena menganggap pengetahuan umumnya sudah cukup dengan sekolah
di HIS. Akhirnya, dia melanjutkan pendidikan ke sekolah agama yang bersemangat
modern, yaitu Moderne Islamietische Kweek School (MIK), sederajat MULO
di Bukit Tinggi.
Di Negeri
Padang Pasir itu, Harun Nasution tidak lama, dan memohon pada orang tuanya agar
mengijinkan pindah studi ke Mesir. Di Mesir dia mulai mendalami Islam pada Fakultas
Ushuluddin, Universitas Al-Azhar. Tidak puas dengan ilmu yang di dapatkan di
universitas tersebut, lalu pindah ke Universitas Amerika di Kairo. Di
Universitas tersebut, Harun bukan mendalami hukum-hukum Islam melainkan
mendalami ilmu pendidikan dan ilmu sosial.
Setelah
selesai dari Universitas tersebut dengan memperoleh ijazah dengan gelar BA,
Harun Nasution bekerja di perusahaan swasta dan kemudian di konsulat
Indonesia-Kairo. Dari Konsulat itulah, putra Batak yang mempersunting gadis
Mesir bernama Sayedah, memulai karir diplomatiknya. Dari Mesir Harun ditarik ke
Jakarta bekerja sebagai pegawai Departemen Dalam Negeri lalu menjabat sebagai
Sekertaris di Kedutaan Besar Indonesia di Brussel.
Setelah
meraih Doktor, Harun Nasution kembali ke tanah air dan mencurahkan perhatiannya
pada pengembangan pemikiran Islam lewat IAIN. Ia sempat menjadi Rektor IAIN
Jakarta selama dua periode (1974-1982). Kemudian Ia memelopori berdirinya
Pascasarjana untuk studi Islam di IAIN Jakarta.
Kemudian
dengan berdirinya program Pascasarjana, Harun menjabat sebagai Direktur program
Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sampai meninggal dunia (tahun
1998) di usianya lebih kurang 79 tahun.
Beliau sendiri sudah banyak mengutarakan berbagai ide pembaharuan, diantaranya:
Islam bisa
diperbaharui
Islam
sebagai agama Allah yang mutlak benar dengan mudah sepakat orang menyetujuinya.
Tetapi setelah Islam menjadi agama yang dianut masyarakat Islam sepanjang
sejarah, tidaklah mudah menjawab pertanyaan tentang apa saja ajaran Islam
tersebut. Ada yang berpendapat ajaran Islam itu hanya yang tertera dalam kitab
suci dan hadis nabi, sehingga Islam adalah bersifat normatif. Ada pula yang
berpendapat selain Islam yang bersifat normatif itu, Islam juga bersipat
historis, atau menurut Pbeliau, Islam yang dilaksanakan oleh umatnya
sepanjang sejarah dalam kehidupan mereka.
Menurut Prof.
Harun, dalam Alquran hanya ada sedikit ayat yang pengertiannya bersifat qath'i
(pasti), dan banyak sekali yang bersipat dzanni (dugaan). Pengertian qath'i dan
dzanni yang berasal dari kalangan ulama fikih ini digunakan beliau untuk
semua masalah agama dalam Islam. Sehingga dia beranggapan bahwa lapangan ajaran
Islam yang berasal dari dzanni al-dilalah, sangat banyak. Pengertian dzanni
(dugaan atau tidak pasti) jelas bisa berubah sesuai kemampuan orang dalam
memformulasikannya, dan tetap dianggap benar selama tidak bertentangan dengan
bagian yang bersifat qath'i (pasti).
Karena itu,
Islam bisa diperbaharui, yaitu bagian yang bersifat dzanni (tidak pasti).
Karena ini banyak, maka lapangan pembaharuan Islam jadi luas sekali. Memang
tidak ada pembaharuan dalam soal kewajiban salat dan ibadah haji, karena itu
sudah jelas ada ayat yang bersifat qath'i yang mengaturnya. Tetapi mengerjakan
salat dengan mikropon atau pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dengan
pesawat terbang, merupakan bagian ajaran Islam yang bisa diperbaharui setiap
saat sesuai dengan teknologi yang lebih memungkinkan.
Pemicu
pembaharuan
Dalam sebuah
hadis yang diriwayatkan Abu Daud, pernah Rasulullah bersabda bahwa Allah akan
membangkitkan seorang pembaharu kepada umat Islam, pada setiap puncak seratus
tahun, yang memperbaharui ajaran agama mereka. Hadis ini cukup populer di
kalangan kaum modernis sepanjang masa. Dia banyak dianggap sebagai pemicu
orang-orang tertentu untuk bangkit jadi pembaharu agama bagi umatnya dalam
sejarah.
Berbeda
dengan hal itu, Prof. Harun lebih menitikberatkan pada realita yang terjadi. Dia
beranggapan bahwa pembaharuan dalam Islam baru terjadi pada abad modern, yaitu
dimulai pada abad ke-18 M. Dan pada masa itu, dunia Timur, yang banyak Islam,
didominasi Barat. Berbarengan dengan bidang politik dan ekonomi, umat Islam
juga harus menerima persinggungan dengan kebudayaan Barat yang disuguhkan
kepada mereka. Karena kebudayaan umat Islam pada umumnya masih mengalami
degradasi, wajar saja jika kebudayaan Barat lebih dominan dan banyak menguasai
mereka di segala kehidupan.
Dengan
adanya persinggungan dengan kebudayaan Barat itulah, sementara tokoh Islam
tergerak melakukan reformasi terhadap ajaran agama mereka. Mulanya dalam soal
sosial, ekonomi, politik dan pertahanan, tetapi kemudian merebak juga ke bidang
agama. Begitulah yang terjadi di Mesir, Turki dan India. Sedangkan di
Indonesia, pembaharuan terjadi setelah pengaruh dari negeri-negeri tersebut menjamah
Nusantara di abad modern.
Dengan
pandangan itulah, beliau menganggap adanya pembaharuan dalam Islam, dipicu
adanya persinggungan kehidupan umat Islam dengan kebudayaan Barat yang datang
ke daerah-daerah koloni mereka di Timur. Sehingga dia mengartikan pembaharuan
dalam Islam dengan pemikiran atau gerakan sementara umat Islam untuk mengubah
adat, pikiran, perbuatan atau institusi mereka dengan suatu yang baru
sebagaimana terdapat di dunia Barat abad modern.
Sebagai
contoh, jika sementara kaum modernis sangat menganjurkan umat Islam agar
percaya diri menghadapi suatu persoalan hidup, karena demikianlah dianjurkan
ajaran agama, maka dengan pengertian tersebut, anjuran kaum modernis tersebut
adalah karena kemauan mereka mau mengubah sikap umat yang fatal selama ini
menjadi dinamis, karena anggapan seperti itu ada di Barat. Memang sikap seperti
itu ada di antara pendapat para teolog klasik, tetapi hal itu baru dicari
sebagai justifikasi terhadap pendapat yang sudah terpikirkan sebelumnya.
Sukar untuk
menolak anggapan bahwa figur Prof. Harun dianggap sebagai seorang modernis, tokoh
pembaharu Islam. Dia memang dalam melaksanakan pembaharuan tidak seperti yang
pada umumnya dikerjakan tokoh modernis lain, lewat organisasi, sosial maupun
politik. Dia melontarkan ide-ide pembaharuannya lewat IAIN Jakarta dengan
pasca- sarjananya, yang pada umumnya menjadi 'kiblat' semua IAIN di Indonesia.
Tetapi untuk mengatakan semua IAIN dan pasca-sarjananya di seluruh Indonesia
bercorak Harunistik, juga tidak benar. Memang sudah risiko setiap modernis, ada
yang pro dan kontra terhadap ide pembaharuannya. Namun 'rasa garam' ide beliau terasa ada pada setiap IAIN, meskipun dengan nuansa berbeda.
Membaca ide
pembaharuan Pak Harun Nasution harus diletakkan secara proporsional. Mungkin saja suatu
ide pembaharuan beberapa dekade lalu, sudah dianggap biasa sekarang, karena
perkembangan dunia makin cepat. Pendapat beliau bahwa terjadinya pembaharuan
dalam Islam karena dipicu persinggungan dengan Barat, memang suatu kenyataan
sejarah. Tetapi karena itulah ada orang yang menganggap Pak Harun seorang
westernis yang pro Barat, sehingga sering dianggap sebagai agen orientalis.
Sebenarnya Pak Harun adalah seorang muslim yang menginginkan kemajuan bagi
Islam dan kaum muslimin. Untuk itu dari mana saja umat Islam bisa mengambil
pendapat, sebagaimana umat Islam dahulu juga melakukannya.
Agama
rasional
Dalam
sejarah filsafat, rasionalisme pernah jaya. Aliran filsafat yang mengagungkan
kebenaran hasil pemikiran manusia sebagai kebenaran ilmiah pernah ada dalam
sejarah. Kebenaran ilmiah waktu itu, memang belum ditentukan oleh kebenaran
rasional plus kebenaran empiris seperti sekarang. Pada masa itulah Islam lahir
dan berkembang. Karena itu ada sementara tokoh Islam yang berusaha
merasionalkan ajaran Islam yang ditekuni mereka, agar Islam juga dianggap
mempunyai kebenaran ilmiah. Mereka mengambil unsur-unsur rasional filsafat
Yunani yang sudah mereka ketahui untuk memformulasikan ajaran agama. Hal ini
terjadi, karena adanya stimulan, baik internal maupun eksternal.
Menghargai
akal
Manusia
dalam menghadapi masalah kehidupannya di muka bumi sudah dibekali Tuhan dengan
akal, suatu yang tidak diberikan-Nya kepada makhluk lain. Dia tidak hanya
seperti seulas sabut yang hanyut kemana gelombang samudera menghempaskannya.
Karena itu Islam sebagai agama fitrah pasti akan menghargai akal dalam
ajarannya.
Menurut Prof.
Harun Alquran dan hadis Nabi juga menghargai akal. Dia dalam pelbagai
tulisannya mengutip beberapa ayat Alquran yang mengharuskan umat Islam menggunakan
akal. Begitu pula dengan hadis Nabi. Tetapi dalam sejarah pemikiran Islam, dia
menemukan suatu aliran teologi yang sangat menghargai akal dalam segala
pendapatnya, yaitu Muktazilah.
Pada waktu
wahyu belum diturunkan Tuhan, muktazilah beranggapan bahwa akal manusia dapat
mengetahui baik dan buruk suatu perbuatan dan akal dapat mewajibkan manusia
mengikuti perbuatan baik dan menjauhkan dirinya dari perbuatan buruk, yang
dianggap sebagai syariat waktu itu. Hal ini --menurut Pak Harun sering
membandingkannya-- tidak ditemukan pada Asy'ariyah, yang hanya mengakui akal
dapat mengetahui perbuatan baik dan buruk, namun tak bisa mewajibkan atau
melarang manusia tentang hal itu. Karena itu beliau menegaskan bahwa
Muktazilah lebih menghargai kemampuan akal ketimbang Asy'ariyah. Sehingga
pendapat-pendapat Muktazilah bersifat lebih rasional ketimbang
pendapat-pendapat lainnya dalam menanggapi masalah-masalah teologi Islam.
Dengan
penemuannya ini, Pak Harun sering mengungkapkan, Islam sebagai agama yang
sangat menghargai akal, dengan menjadikan Muktazilah sebagai prototypenya. Dia
memang menginginkan umat Islam bisa maju karena menggunakan rasionalnya dalam
segala bidang, karena pada masa berkembangnya Muktazilah itu umat Islam sedang
mengalami masa keemasan dalam sejarah. Begitu pula di Barat orang pada maju,
karena mereka bersikap rasional dalam kehidupan.
Sikap
Muktazilah yang juga sangat dihargai Pak Harun adalah sikapnya yang terbuka.
Aliran yang dianggap sebagai pendiri hakiki ilmu Kalam ini memang selalu
mengadopsi pelbagai hasil pemikiran asing, seperti filsafat Yunani, yang waktu
itu bisa dikatakan sebagai ilmu pengetahuan umum bagi umat Islam. Mereka
gunakan unsur-unsur pengetahuan itu dalam memformulasikan ajaran Islam,
terutama di bidang teeologi. Hampir semua tema-tema yang digunakan dalam
teologi Islam sampai sekarang ini, berasal dari Muktazilah yang telah
menjadikan filsafat Yunani itu sebagai salah satu refrensi mereka.
Selain itu
Pak Harun juga pernah mengritik Muktazilah yang tidak toleran dalam
berpendapat. Meskipun mereka menghargai rasio, tetapi tidak bisa mentolerir
perbedaan pendapat. Banyak di antara tokohnya yang saling mengkafirkan karena
perbedaan pendapat, padahal mereka diikat oleh hubungan murid dengan guru
bahkan anak dengan orangtuanya. Peristiwa mihnah yang banyak menyengsarakan
tokoh-tokoh ulama yang berbeda pendapat dengan Muktazilah, yang dilaksanakan
pada masa pemerintahan Khalifah al Mu'tashim, sering mendapat kritik tajam dari
Pak Harun. Tindakan tersebut dianggapnya tidak Islami, karena Islam sangat
menghargai rasio yang digunakan dalam berpendapat.
Ijtihad
Dalam rangka
menghormati penggunaan rasio itulah, beliau juga menginginkan agar umat
Islam melakukan ijtihad dan menjauhi taklid, suatu ide yang sudah sering
dikumandangkan kaum modernis sebelumnya. Tetapi menurut Pak Harun, pada masa
ide pembaharuan beliau tersebut dilontarkan (th 1970-an), umat Islam dalam
persepsinya masih belum berani berijtihad dalam memecahkan masalah-masalah yang
dihadapi mereka, karena terbelenggu oleh ketentuan-ketentuan organisasi yang
sangat mengikat.
Menurut
pandangannya, kini batas antara kaum modernis dan tradisionalis jadi kabur,
sehingga bisa terjadi tokoh yang dianggap tradisionalis lebih berani berijtihad
ketimbang tokoh modenis, suatu kenyataan yang tak perlu terjadi. Hal ini
menurutnya karena makin langkanya para mujtahid yang berwenang. Mungkin karena
ide inilah dia pernah menegaskan bahwa sarjana S1 bisa dianggap tukang yang
bisa mengerjakan sesuatu yang dipelajarinya, sarjana S2 dianggap seorang yang
ahli dan mampu secara ilmiah di bidang yang ditekuninya, sedangkan sarjana S3
diharapkan menjadi pencetus ide baru yang bisa dianggap sebagai mujtahid di
bidangnya.
Barangkali
dengan banyaknya progam pasca-sarjana yang disponsorinya membuka bagi IAIN
seluruh Indonesia, kelangkaan tenaga tersebut bisa teratasi.
Konsep
ijtihad yang berasal dari ulama fikih ini di introdusir Pak Harun untuk semua
masalah agama. Kalau dalam fikih, karena ijtihad terhadap masalah-masalah fiqhiyyah,
telah menimbulkan pelbagai mazhab, seperti Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali
maka ijtihad terhadap masalah-masalah akidah juga telah menimbulkan pelbagai
aliran, seperti Muktazilah, Asy'ariyah, Maturidiyah, dan sebagainya. Semua
mazhab dan alian tersebut, menurut beliau, sah-sah saja diikuti oleh umat
Islam, selama tidak bertentangan dengan ayat-ayat alqurran dan hadis Nabi yang
bersipat qath'i (pasti).
Kegandrungan
Prof Harun terhadap Muktazilah yang dianggapnya sebagai suatu aliran teologi
yang sangat menghargai akal (rasio) mengakibatkan dia mendapat pelbagai
predikat yang tidak diinginkan, seperti pengikut Muktazilah atau
Neo-Muktazilah. Sebenarnya keganderungan ini, didasari oleh penelitian yang dia
melakukan terhadap ajaran Syekh Muhammad Abduh, seorang modernis Mesir, yang
sangat rasional dalam berbagai naskahnya, sehingga dunia menganggapnya seorang
yang berstatus di antara para filsuf dan teolog. Sebagai penyebar ide-ide
tersebut, Pak Harun mengikuti jejak Sayid Ahmad Khan, seorang modernis di India
abad ke-19, yang digelari orang Neo-Muktazilah. Tapi Harun sendiri pernah
mengakui bahwa dia seorang Ahlissunnah yang rasional.
Jadi ide pembaharuan
yang dilontarkan, bukan mengajak umat Islam supaya menjadi pengikut Muktazilah,
tetapi beliau mengharapkan agar umat Islam bersikap rasional dalam
kehidupannya, karena agama Islam sangat menghargai akal (rasio), sebagaimana
pernah terjadi dalam sejarahnya yang cemerlang.
Prof. Dr. Harun
Nasution di samping di kenal sebagai ahli filsafat Islam, juga di kenal juga sebagai
penulis, semasa hidupnya Ia telah banyak menghasilkan tulisan, baik yang berupa
buku, artikel, maupun jurnal ilmiah di dalam dan luar negeri, yang relatif
menjadi buku teks (wajib) terutama di lingkungan IAIN dan STAIN yang ada di
Indonesia. Buku-buku yang telah di tulis Harun Nasutioan antara lain sebagai
berikut; Islam ditinjau dari berbagai aspeknya (1974), Akal dan wahyu
dalam Islam (1986), Falsafah dan Mistisisme dalam Islam (1978), Teologi
Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa, dan Perbandingan (1977), Falsafah
Agama (1978). Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Geraksn
(1978), Islam Rasional (1995).
Dari berbagai Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar