BLOG DALAM MASA PERBAIKAN!!

Jumat, 28 Maret 2014

Teka teki dari al Imam Ghazali



Iman Ghazali = " Apa yang paling besar didunia ini ?"
Murid 1 = " Gunung "
Murid 2 = " Matahari "
Murid 3 = " Bumi "
Imam Ghazali = " Semua jawaban itu benar,tapi yang besar sekali adalah
HAWA NAFSU (Surah Al A'raf: 179). Maka kita harus hati-hati dengan nafsu kita, jangan sampai nafsu kita membawa ke neraka."
IMAM GHAZALI" Apa yang paling berat didunia? " Murid 1 = " Baja " Murid 2 = " Besi " Murid 3 = " Gajah " Imam Ghazali = " Semua itu benar, tapi yang paling berat adalah MEMEGANG AMANAH (Surah Al-Azab : 72 ). Tumbuh-tumbuhan, binatang, gunung, dan malaikat semua tidak mampu ketika Allah SWT meminta mereka menjadi khalifah pemimpin) di dunia ini. Tetapi manusia dengan sombongnya berebut-rebut menyanggupi permintaan Allah SWT sehingga banyak manusia masuk ke neraka kerana gagal memegang amanah."
Imam Ghazali = " Apa yang paling ringan di dunia ini ?" Murid 1 = " Kapas" Murid 2 = " Angin " Murid 3 = " Debu " Murid 4 = " Daun-daun" Imam Ghazali = " Semua jawaban kamu itu benar, tapi yang paling ringan sekali didunia ini adalah MENINGGALKAN SOLAT . Gara-gara pekerjaan kita atau urusan dunia, kita tinggalkan solat "
Imam Ghazali = " Apa yang paling tajam sekali di dunia ini? " Murid- Murid dengan serentak menjawab ="Pedang " Imam Ghazali = " Itu benar, tapi yang paling tajam sekali didunia ini adalah LIDAH MANUSIA . Kerana melalui lidah, manusia dengan mudahnya menyakiti hati dan melukai perasaan saudaranya sendiri

Khutbah Terakhir Nabi Muhammad SAW



"Wahai manusia dengarlah baik-baik apa yang hendak ku katakan !!! Aku tidak mengetahui apakah aku dapat bertemu lagi dengan kamu semua selepas tahun ini. Oleh itu dengarlah dengan teliti kata-kataku ini dan sampaikanlah ia kepada orang-orang yang tidak dapat hadir di sini pada hari ini.
Wahai manusia, sepertimana kamu menganggap bulan ini dan kota ini sebagai suci maka anggaplah jiwa dan harta setiap orang Muslim sebagai amanah suci. Kembalikan harta yang diamanahkan kepada kamu kepada pemiliknya yang berhak.
Janganlah kamu sakiti sesiapapun agar orang lain tidak menyakiti kamu pula. Ingatlah bahwa sesungguhnya kamu akan menemui Tuhan kamu dan Dia pasti akan membuat perhitungan atas segala amalan kamu. Allah telah mengharamkan riba', oleh itu segala urusan yang melibatkan riba' hendaklah dibatalkan mulai sekarang.
Berwaspadalah terhadap syaitan demi keselamatan agama kamu. Dia telah berputus asa untuk menyesatkan kamu dalam perkara-perkara besar maka berjaga-jagalah supaya kamu tidak mengikutinya dalam perkara-perkara kecil.
Wahai manusia, sebagaimana kamu mempunyai hak atas para isteri kamu, mereka juga mempunyai atas kamu. Sekiranya mereka menyempurnakan mereka ke atas kamu maka mereka juga berhak untuk diberi makan dan pakaian dalam suasana kasih sayang.
Layanilah wanita-wanita kamu dengan baik! dan berlemah lembutlah terhadap mereka kerana sesungguhnya mereka adalah teman dan pembantu kamu yang setia. Dan hak kamu ke atas mereka ialah mereka sama sekali tidak boleh memasukkan orang yang kamu tidak sukai ke dalam rumah kamu dan dilarang melakukan zina.
Wahai manusia, dengarlah bersungguh-sungguh kata-kataku ini. Sembahlah Allah, dirikanlah solat lima kali sehari, berpuasalah di Bulan Ramadhan, tunaikanlah zakat dan harta kekayaan kamu dan kerjakanlah ibadah haji sekiranya mampu.
Ketahuilah bahawa setiap Muslim adalah saudara kepada Muslim yang lain. Kamu semua adalah sama; tidak ada seorangpun yang lebih mulia dari yang lainnya kecuali dalam taqwa dan amal soleh.
Ingatlah bahawa kamu akan mengadap Allah pada suatu hari untuk dipertanggungjawabkan atas segala apa yang telah kamu lakukan. Oleh itu, awasilah tindak-tanduk kamu agar jangan sekali-kali kamu terkeluar dari landasan kebenaran selepas ketiadaanku.
Wahai manusia, tidak ada lagi Nabi atau Rasul yang akan datang selepasku dan tidak akan lahir agama baru. Oleh itu wahai manusia, nilailah dengan betul dan fahamilah kata-kataku yang telah disampaikan kepada kamu.
Sesungguhnya aku tinggalkan kepada kamu dua perkara yang sekiranya kamu berpegang teguh dan mengikuti kedua-duanya nescaya kamu tidak akan tersesat selama-lamanya. Itulah Al-Quran dan Sunnahku.
Hendaklah orang-orang yang mendengar ucapanku ini menyampaikannya pula kepada orang lain dan hendaklah orang yang lain itu menyampaikannya pula kepada orang lain dan begitu seterusnya.
Semoga orang yang terakhir yang menerimanya lebih memahami kata-kataku ini dari mereka yang mendengar terus dariku. Saksikanlah Ya Allah, bahawasanya aku telah sampaikan risalah-Mu kepada hamba-hamba- Mu. "

Selasa, 25 Maret 2014

Biografi Prof. Dr. Harun Nasution




Beliau lahir pada hari selasa, 23 September 1919 di Pematang Siantar, Sumatra Utara. Putra dari Abdul Jabar Ahmad, seorang pedagang dari Mandailing dan Qodhi (Penghulu), pada masa pemerintahan Belanda di kabupaten Simalungun, Pematang Siantar, seorang Ulama yang menguasai kitab-kitab Jawa dan suka membaca kitab Kuning berbahasa Melayu. Sedangkan Ibunya seorang Boru Mandailing Tapanuli, Maimunah keturunan seorang Ulama, ibunya pernah bermukim di Mekkah, dan mengikuti beberapa kegiatan di Masjidil Haram.
Harun Nasution berasal dari keturunan yang taat beribadah, keturunan orang terhormat dan mempunyai strategi ekonomi yang lumayan. Kondisi keluarganya yang seperti itu membuat Harun bisa lancar dalam melanjutkan cita-citanya mendalami ilmu pengetahuan.
Harun Nasution memulai pendidikannya di sekolah Belanda, Hollandsch Inlandche School (HIS), pada waktu berumur tujuh tahun. Selama tujuh tahun, Harun belajar bahasa Belanda dan ilmu pengetahuan umum di sekolah itu. Dia berada dalam lingkungan disiplin yang tepat di lingkungan keluarga, Harun memulai pendidikan agama dari lingkungan keluarganya dengan belajar mengaji, shalat dan ibadah lainnya. Setelah tamat di HIS, Harun mempunyai keinginan untuk meneruskan sekolah ke MULO, akan tetapi orang tuanya tidak merestui keinginannya karena menganggap pengetahuan umumnya sudah cukup dengan sekolah di HIS. Akhirnya, dia melanjutkan pendidikan ke sekolah agama yang bersemangat modern, yaitu Moderne Islamietische Kweek School (MIK), sederajat MULO di Bukit Tinggi.
Di Negeri Padang Pasir itu, Harun Nasution tidak lama, dan memohon pada orang tuanya agar mengijinkan pindah studi ke Mesir. Di Mesir dia mulai mendalami Islam pada Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar. Tidak puas dengan ilmu yang di dapatkan di universitas tersebut, lalu pindah ke Universitas Amerika di Kairo. Di Universitas tersebut, Harun bukan mendalami hukum-hukum Islam melainkan mendalami ilmu pendidikan dan ilmu sosial.
Setelah selesai dari Universitas tersebut dengan memperoleh ijazah dengan gelar BA, Harun Nasution bekerja di perusahaan swasta dan kemudian di konsulat Indonesia-Kairo. Dari Konsulat itulah, putra Batak yang mempersunting gadis Mesir bernama Sayedah, memulai karir diplomatiknya. Dari Mesir Harun ditarik ke Jakarta bekerja sebagai pegawai Departemen Dalam Negeri lalu menjabat sebagai Sekertaris di Kedutaan Besar Indonesia di Brussel.
Setelah meraih Doktor, Harun Nasution kembali ke tanah air dan mencurahkan perhatiannya pada pengembangan pemikiran Islam lewat IAIN. Ia sempat menjadi Rektor IAIN Jakarta selama dua periode (1974-1982). Kemudian Ia memelopori berdirinya Pascasarjana untuk studi Islam di IAIN Jakarta.
Kemudian dengan berdirinya program Pascasarjana, Harun menjabat sebagai Direktur program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sampai meninggal dunia (tahun 1998) di usianya lebih kurang 79 tahun.
Beliau sendiri sudah banyak mengutarakan berbagai ide pembaharuan, diantaranya:

Islam bisa diperbaharui

Islam sebagai agama Allah yang mutlak benar dengan mudah sepakat orang menyetujuinya. Tetapi setelah Islam menjadi agama yang dianut masyarakat Islam sepanjang sejarah, tidaklah mudah menjawab pertanyaan tentang apa saja ajaran Islam tersebut. Ada yang berpendapat ajaran Islam itu hanya yang tertera dalam kitab suci dan hadis nabi, sehingga Islam adalah bersifat normatif. Ada pula yang berpendapat selain Islam yang bersifat normatif itu, Islam juga bersipat historis, atau menurut Pbeliau, Islam yang dilaksanakan oleh umatnya sepanjang sejarah dalam kehidupan mereka.

Menurut Prof. Harun, dalam Alquran hanya ada sedikit ayat yang pengertiannya bersifat qath'i (pasti), dan banyak sekali yang bersipat dzanni (dugaan). Pengertian qath'i dan dzanni yang berasal dari kalangan ulama fikih ini digunakan beliau untuk semua masalah agama dalam Islam. Sehingga dia beranggapan bahwa lapangan ajaran Islam yang berasal dari dzanni al-dilalah, sangat banyak. Pengertian dzanni (dugaan atau tidak pasti) jelas bisa berubah sesuai kemampuan orang dalam memformulasikannya, dan tetap dianggap benar selama tidak bertentangan dengan bagian yang bersifat qath'i (pasti).

Karena itu, Islam bisa diperbaharui, yaitu bagian yang bersifat dzanni (tidak pasti). Karena ini banyak, maka lapangan pembaharuan Islam jadi luas sekali. Memang tidak ada pembaharuan dalam soal kewajiban salat dan ibadah haji, karena itu sudah jelas ada ayat yang bersifat qath'i yang mengaturnya. Tetapi mengerjakan salat dengan mikropon atau pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dengan pesawat terbang, merupakan bagian ajaran Islam yang bisa diperbaharui setiap saat sesuai dengan teknologi yang lebih memungkinkan.

Pemicu pembaharuan

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Daud, pernah Rasulullah bersabda bahwa Allah akan membangkitkan seorang pembaharu kepada umat Islam, pada setiap puncak seratus tahun, yang memperbaharui ajaran agama mereka. Hadis ini cukup populer di kalangan kaum modernis sepanjang masa. Dia banyak dianggap sebagai pemicu orang-orang tertentu untuk bangkit jadi pembaharu agama bagi umatnya dalam sejarah.

Berbeda dengan hal itu, Prof. Harun lebih menitikberatkan pada realita yang terjadi. Dia beranggapan bahwa pembaharuan dalam Islam baru terjadi pada abad modern, yaitu dimulai pada abad ke-18 M. Dan pada masa itu, dunia Timur, yang banyak Islam, didominasi Barat. Berbarengan dengan bidang politik dan ekonomi, umat Islam juga harus menerima persinggungan dengan kebudayaan Barat yang disuguhkan kepada mereka. Karena kebudayaan umat Islam pada umumnya masih mengalami degradasi, wajar saja jika kebudayaan Barat lebih dominan dan banyak menguasai mereka di segala kehidupan.

Dengan adanya persinggungan dengan kebudayaan Barat itulah, sementara tokoh Islam tergerak melakukan reformasi terhadap ajaran agama mereka. Mulanya dalam soal sosial, ekonomi, politik dan pertahanan, tetapi kemudian merebak juga ke bidang agama. Begitulah yang terjadi di Mesir, Turki dan India. Sedangkan di Indonesia, pembaharuan terjadi setelah pengaruh dari negeri-negeri tersebut menjamah Nusantara di abad modern.

Dengan pandangan itulah, beliau menganggap adanya pembaharuan dalam Islam, dipicu adanya persinggungan kehidupan umat Islam dengan kebudayaan Barat yang datang ke daerah-daerah koloni mereka di Timur. Sehingga dia mengartikan pembaharuan dalam Islam dengan pemikiran atau gerakan sementara umat Islam untuk mengubah adat, pikiran, perbuatan atau institusi mereka dengan suatu yang baru sebagaimana terdapat di dunia Barat abad modern.

Sebagai contoh, jika sementara kaum modernis sangat menganjurkan umat Islam agar percaya diri menghadapi suatu persoalan hidup, karena demikianlah dianjurkan ajaran agama, maka dengan pengertian tersebut, anjuran kaum modernis tersebut adalah karena kemauan mereka mau mengubah sikap umat yang fatal selama ini menjadi dinamis, karena anggapan seperti itu ada di Barat. Memang sikap seperti itu ada di antara pendapat para teolog klasik, tetapi hal itu baru dicari sebagai justifikasi terhadap pendapat yang sudah terpikirkan sebelumnya.

Sukar untuk menolak anggapan bahwa figur Prof. Harun dianggap sebagai seorang modernis, tokoh pembaharu Islam. Dia memang dalam melaksanakan pembaharuan tidak seperti yang pada umumnya dikerjakan tokoh modernis lain, lewat organisasi, sosial maupun politik. Dia melontarkan ide-ide pembaharuannya lewat IAIN Jakarta dengan pasca- sarjananya, yang pada umumnya menjadi 'kiblat' semua IAIN di Indonesia. Tetapi untuk mengatakan semua IAIN dan pasca-sarjananya di seluruh Indonesia bercorak Harunistik, juga tidak benar. Memang sudah risiko setiap modernis, ada yang pro dan kontra terhadap ide pembaharuannya. Namun 'rasa garam' ide beliau terasa ada pada setiap IAIN, meskipun dengan nuansa berbeda.

Membaca ide pembaharuan Pak Harun Nasution harus diletakkan secara proporsional. Mungkin saja suatu ide pembaharuan beberapa dekade lalu, sudah dianggap biasa sekarang, karena perkembangan dunia makin cepat. Pendapat beliau bahwa terjadinya pembaharuan dalam Islam karena dipicu persinggungan dengan Barat, memang suatu kenyataan sejarah. Tetapi karena itulah ada orang yang menganggap Pak Harun seorang westernis yang pro Barat, sehingga sering dianggap sebagai agen orientalis. Sebenarnya Pak Harun adalah seorang muslim yang menginginkan kemajuan bagi Islam dan kaum muslimin. Untuk itu dari mana saja umat Islam bisa mengambil pendapat, sebagaimana umat Islam dahulu juga melakukannya.

Agama rasional


Dalam sejarah filsafat, rasionalisme pernah jaya. Aliran filsafat yang mengagungkan kebenaran hasil pemikiran manusia sebagai kebenaran ilmiah pernah ada dalam sejarah. Kebenaran ilmiah waktu itu, memang belum ditentukan oleh kebenaran rasional plus kebenaran empiris seperti sekarang. Pada masa itulah Islam lahir dan berkembang. Karena itu ada sementara tokoh Islam yang berusaha merasionalkan ajaran Islam yang ditekuni mereka, agar Islam juga dianggap mempunyai kebenaran ilmiah. Mereka mengambil unsur-unsur rasional filsafat Yunani yang sudah mereka ketahui untuk memformulasikan ajaran agama. Hal ini terjadi, karena adanya stimulan, baik internal maupun eksternal.

Menghargai akal

Manusia dalam menghadapi masalah kehidupannya di muka bumi sudah dibekali Tuhan dengan akal, suatu yang tidak diberikan-Nya kepada makhluk lain. Dia tidak hanya seperti seulas sabut yang hanyut kemana gelombang samudera menghempaskannya. Karena itu Islam sebagai agama fitrah pasti akan menghargai akal dalam ajarannya.

Menurut Prof. Harun Alquran dan hadis Nabi juga menghargai akal. Dia dalam pelbagai tulisannya mengutip beberapa ayat Alquran yang mengharuskan umat Islam menggunakan akal. Begitu pula dengan hadis Nabi. Tetapi dalam sejarah pemikiran Islam, dia menemukan suatu aliran teologi yang sangat menghargai akal dalam segala pendapatnya, yaitu Muktazilah.

Pada waktu wahyu belum diturunkan Tuhan, muktazilah beranggapan bahwa akal manusia dapat mengetahui baik dan buruk suatu perbuatan dan akal dapat mewajibkan manusia mengikuti perbuatan baik dan menjauhkan dirinya dari perbuatan buruk, yang dianggap sebagai syariat waktu itu. Hal ini --menurut Pak Harun sering membandingkannya-- tidak ditemukan pada Asy'ariyah, yang hanya mengakui akal dapat mengetahui perbuatan baik dan buruk, namun tak bisa mewajibkan atau melarang manusia tentang hal itu. Karena itu beliau menegaskan bahwa Muktazilah lebih menghargai kemampuan akal ketimbang Asy'ariyah. Sehingga pendapat-pendapat Muktazilah bersifat lebih rasional ketimbang pendapat-pendapat lainnya dalam menanggapi masalah-masalah teologi Islam.

Dengan penemuannya ini, Pak Harun sering mengungkapkan, Islam sebagai agama yang sangat menghargai akal, dengan menjadikan Muktazilah sebagai prototypenya. Dia memang menginginkan umat Islam bisa maju karena menggunakan rasionalnya dalam segala bidang, karena pada masa berkembangnya Muktazilah itu umat Islam sedang mengalami masa keemasan dalam sejarah. Begitu pula di Barat orang pada maju, karena mereka bersikap rasional dalam kehidupan.

Sikap Muktazilah yang juga sangat dihargai Pak Harun adalah sikapnya yang terbuka. Aliran yang dianggap sebagai pendiri hakiki ilmu Kalam ini memang selalu mengadopsi pelbagai hasil pemikiran asing, seperti filsafat Yunani, yang waktu itu bisa dikatakan sebagai ilmu pengetahuan umum bagi umat Islam. Mereka gunakan unsur-unsur pengetahuan itu dalam memformulasikan ajaran Islam, terutama di bidang teeologi. Hampir semua tema-tema yang digunakan dalam teologi Islam sampai sekarang ini, berasal dari Muktazilah yang telah menjadikan filsafat Yunani itu sebagai salah satu refrensi mereka.

Selain itu Pak Harun juga pernah mengritik Muktazilah yang tidak toleran dalam berpendapat. Meskipun mereka menghargai rasio, tetapi tidak bisa mentolerir perbedaan pendapat. Banyak di antara tokohnya yang saling mengkafirkan karena perbedaan pendapat, padahal mereka diikat oleh hubungan murid dengan guru bahkan anak dengan orangtuanya. Peristiwa mihnah yang banyak menyengsarakan tokoh-tokoh ulama yang berbeda pendapat dengan Muktazilah, yang dilaksanakan pada masa pemerintahan Khalifah al Mu'tashim, sering mendapat kritik tajam dari Pak Harun. Tindakan tersebut dianggapnya tidak Islami, karena Islam sangat menghargai rasio yang digunakan dalam berpendapat.

Ijtihad

Dalam rangka menghormati penggunaan rasio itulah, beliau juga menginginkan agar umat Islam melakukan ijtihad dan menjauhi taklid, suatu ide yang sudah sering dikumandangkan kaum modernis sebelumnya. Tetapi menurut Pak Harun, pada masa ide pembaharuan beliau tersebut dilontarkan (th 1970-an), umat Islam dalam persepsinya masih belum berani berijtihad dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi mereka, karena terbelenggu oleh ketentuan-ketentuan organisasi yang sangat mengikat.

Menurut pandangannya, kini batas antara kaum modernis dan tradisionalis jadi kabur, sehingga bisa terjadi tokoh yang dianggap tradisionalis lebih berani berijtihad ketimbang tokoh modenis, suatu kenyataan yang tak perlu terjadi. Hal ini menurutnya karena makin langkanya para mujtahid yang berwenang. Mungkin karena ide inilah dia pernah menegaskan bahwa sarjana S1 bisa dianggap tukang yang bisa mengerjakan sesuatu yang dipelajarinya, sarjana S2 dianggap seorang yang ahli dan mampu secara ilmiah di bidang yang ditekuninya, sedangkan sarjana S3 diharapkan menjadi pencetus ide baru yang bisa dianggap sebagai mujtahid di bidangnya.

Barangkali dengan banyaknya progam pasca-sarjana yang disponsorinya membuka bagi IAIN seluruh Indonesia, kelangkaan tenaga tersebut bisa teratasi.

Konsep ijtihad yang berasal dari ulama fikih ini di introdusir Pak Harun untuk semua masalah agama. Kalau dalam fikih, karena ijtihad terhadap masalah-masalah fiqhiyyah, telah menimbulkan pelbagai mazhab, seperti Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali maka ijtihad terhadap masalah-masalah akidah juga telah menimbulkan pelbagai aliran, seperti Muktazilah, Asy'ariyah, Maturidiyah, dan sebagainya. Semua mazhab dan alian tersebut, menurut beliau, sah-sah saja diikuti oleh umat Islam, selama tidak bertentangan dengan ayat-ayat alqurran dan hadis Nabi yang bersipat qath'i (pasti).

Kegandrungan Prof Harun terhadap Muktazilah yang dianggapnya sebagai suatu aliran teologi yang sangat menghargai akal (rasio) mengakibatkan dia mendapat pelbagai predikat yang tidak diinginkan, seperti pengikut Muktazilah atau Neo-Muktazilah. Sebenarnya keganderungan ini, didasari oleh penelitian yang dia melakukan terhadap ajaran Syekh Muhammad Abduh, seorang modernis Mesir, yang sangat rasional dalam berbagai naskahnya, sehingga dunia menganggapnya seorang yang berstatus di antara para filsuf dan teolog. Sebagai penyebar ide-ide tersebut, Pak Harun mengikuti jejak Sayid Ahmad Khan, seorang modernis di India abad ke-19, yang digelari orang Neo-Muktazilah. Tapi Harun sendiri pernah mengakui bahwa dia seorang Ahlissunnah yang rasional.

Jadi ide pembaharuan yang dilontarkan, bukan mengajak umat Islam supaya menjadi pengikut Muktazilah, tetapi beliau mengharapkan agar umat Islam bersikap rasional dalam kehidupannya, karena agama Islam sangat menghargai akal (rasio), sebagaimana pernah terjadi dalam sejarahnya yang cemerlang.


Prof. Dr. Harun Nasution di samping di kenal sebagai ahli filsafat Islam, juga di kenal juga sebagai penulis, semasa hidupnya Ia telah banyak menghasilkan tulisan, baik yang berupa buku, artikel, maupun jurnal ilmiah di dalam dan luar negeri, yang relatif menjadi buku teks (wajib) terutama di lingkungan IAIN dan STAIN yang ada di Indonesia. Buku-buku yang telah di tulis Harun Nasutioan antara lain sebagai berikut; Islam ditinjau dari berbagai aspeknya (1974), Akal dan wahyu dalam Islam (1986), Falsafah dan Mistisisme dalam Islam (1978), Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa, dan Perbandingan (1977), Falsafah Agama (1978). Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Geraksn (1978), Islam Rasional (1995).


Dari berbagai Sumber