BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Arti Pengertian Kebijakan dan Fiskal
Sudah sering kita dengar baik di berita, koran ataupun radio
hal-hal yang berhubungan dengan sebuah sistem dalam kepemerintahan Indonesia
yang disebut dengan kebijakan fiskal. Dimana kebijakan fiskal ini hampir sama
dengan kebijakan moneter, hanya saja pelaku dan tugas dari kedua kebijakan
tersebut berbeda. Dalam kamus bahasa Indonesia yang disebut dengan kebijakan
adalah kepandaian; kemahiran; kebijaksanaan; rangkaian konsep dan asas yang
menjadi garis besar dan dasar rencana pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan,
dan cara bertindak (di dalam pemerintahan, organisasi, dsb).[1]
Sedangkan Fiskal adalah berkenaan dengan urusan pajak atau pendapatan negara.[2]
B.
Kebijakan Fiskal
Setiap tahun
pemerintah membuat suatu Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN)
yang diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk kemudian disahkan
menjadi undang-undang APBN. RAPBN itu berisikan berbagai rencana kebijakan yang
intinya adalah kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal itu sendiri adalah suatu
kebijakan yang meliputi kegiatan penerimaan dan pengeluaran negara yang
digunakan oleh pemerintah untuk menjaga stabilitas ekonomi serta mendorong
pertumbuhan ekonomi.[3] Selain
itu Kebijakan fiskal juga bisa diartikan sebagai kebijakan pemerintah dalam
bidang pengeluaran dan pendapatannya dengan tujuan untuk menciptakan tingkat
kesempatan kerja yang tinggi tanpa inflasi.[4] Contoh
kebijakan fiskal adalah apabila perekonomian nasional mengalami inflasi,
pemerintah dapat mengurangi kelebihan permintaan masyarakat dengan cara
memperkecil pembelanjaan dan menaikan pajak agar tercipta kstabilan.[5] Kebijakan
fiskal berbeda dengan kebijakan moneter, yang
bertujuan menstabilkan perekonomian dengan cara mengontrol tingkat bunga dan
jumlah uang yang
beredar. Instrumen utama kebijakan fiskal adalah pengeluaran dan pajak.[6]
instrumen kebijakan fiskal dalam
system e konomi islam terbebas dari
unsur-unsur yang diharamkan oleh syari'at. Karenanya, unsur-unsur yang menjadi
instrumen kebijakan fiskal dalam
system ekonomi Islam, berbeda dengan unsur-unsur yang menjadi instrumen dalam kebijakan fiskal
konvensional.[7]
Selama 30 tahun terakhir, struktur perekonomian
Indonesia setelah mengalami transisi yang luar biasa. Pada tahun 1967,
Indonesia berada dalam situasi yang sangat kacau. Pendapatan per kapita turun
sampai tingkat dibawah yang telah dicapai 5 tahun sebelumnya, perekonomian
hancur oleh hiper-inflasi sektor pertanian tidak dapat lagi menyediakan bahan
pangan yang cukup untuk kebutuhan dalam negeri, dan kemiskinan menjadi nasib
sebagian besar penduduk. Walaupun pemerintah orde baru bergerak cepat dan pasti
untuk membangun sejumlah tujuan dibidang ekonomi sampai tahun 1985 Indonesia
hanya menunjukan sedikit sekali jejak industrialisasi. Pada saat itu, ekspor
Indonesia masih di dominasi oleh minyak dan gas bumi serta beberapa produk
utama lainnya. Sektor pertanian masih menyumbang sekitar 24% produk domestik
bruto (PDB), sementara industri non migas menyumbang kurang dari 14%. Namun,
pada tahun 1994, PDB riil tumbuh sampai rata-rata 7,6% per tahun selama satu
dekade dan industri non migas tumbuh sampai 20% dari PDB. Kinerja perekonomian
tersebut, menurut bank dunia telah menjadikan Indonesia sebagai salah satu
negara yang termasuk kedalam keajaiban asia timur.[8]
Berikut adalah komponen dari kebijakan fiskal:[9]
1.
Sumber
penerimaan negara
Sumber-sumber
penerimaan dalam islam dapat diperoleh melalui pendapatan zakat, ghanimah, fai’,
kharaj dan jiziyah. Sumber-sumber inilah yang berlaku pada masa nabi SAW.
Sedangkan dalam konvensional hanya mengandalkan pajak yang didapat dari warga
negara.
2.
Pengeluaran
negara
Keuangan
publik diarahkan untuk mewujudkan tujuan negara muslim. Inilah tugas
pemerintahan dalam negara muslim untuk menggunakan uang tersebut dalam
meningkatkan taraf hidup masyarakat dan meningkatkan ketaqwaan masyarak. Jadi,
sebagian besar anggaran pemerintah akan digunakan pada aktifitas-aktifitas yang
dimaksudkan untuk meningkatkan islam dan kesejahteraan masyarakat muslim.
3.
Utang negara
Pinjaman ini
dilakukan untuk menstabilkan harga. Pinjaman dari negara lain yang menggunakan
sistem bebas bunga pada umumnya susah untuk didapatkan. Oleh karenanya, suatu
negara tertentu mungkin akan mendapatkan dari negara lain, yang sepaham.
APBN terdiri atas anggaran
Pendapatan Negara, anggaran Belanja Negara dan Pembiayaan Anggaran.[10]
1. Pendapatan
Negara
Pendapatan
negara adalah hak Pemerintah Pusat yang diakui sebagai penambah kekayaan bersih
yang terdiri atas penerimaan perpajakan, penerimaan negara bukan pajak dan
penerimaan Hibah.
Penerimaan
perpajakan adalah semua penerimaan negara yang terdiri dari pendapatan pajak
dalam negeri dan pendapatan pajak perdagangan internasional. Pendapatan pajak
dalam negeri adalah semua penerimaan negara yang berasal dari pendapatan pajak
penghasilan, pendapatan pajak pertambahan nilai barang dan pendapatan pajak
penjualan atas barang mewah, pendapatan pajak bumi dan bangunan, pendapatan
cukai, dan pendapatan pajak lainnya. Sedangkan pendapatan pajak perdagangan
internasional adalah semua penerimaan negara yang berasal dari pendapatan bea
masuk dan pendapatan bea keluar.
Penerimaan
negara bukan pajak, yang selanjutnya disingkat PNBP, adalah semua penerimaan
pemerintah pusat yang diterima dalam bentuk penerimaan dari sumber daya alam,
pendapatan bagian laba Badan Usaha Milik Negara (BUMN), PNBP lainnya, serta
pendapatan Badan Layanan Umum (BLU).
Penerimaan
Hibah adalah semua penerimaan negara baik dalam bentuk devisa dan/atau devisa
yang dirupiahkan, rupiah, jasa, dan/atau surat berharga yang diperoleh dan
pemberi hibah yang tidak perlu dibayar kembali dan yangtidak mengikat, baik
yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri.
2. Belanja
Negara
Belanja
negara adalah kewajiban pemerintah pusat yang diakui sebagai pengurangan nilai
kekayaan bersih yang terdiri atas belanja pemerintah pusat dan transfer ke
daerah.
3. Pembiayaan
Anggaran
Pembiayaan
anggaran adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali, penerimaan
kembali atas pengeluaran tahun-tahun anggaran sebelumnya, pengeluaran kembali
atas penerimaan tahun-tahun anggaran sebelumnya, penggunaan saldo anggaran
lebih, dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun
anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya.
Pembiayaan
dalam negeri adalah semua penerimaan pembiayaan yang berasal dari perbankan dan
nonperbankan dalam negeri, yang terdiri atas penerimaan cicilan pengembalian
penerusan pinjaman, saldo anggaran lebih, hasil pengelolaan aset, penerbitan
surat berharga negara neto, pinjaman dalam negeri, dikurangi dengan
pengeluaraan pembiayaan, yang meliputi aslokasi untuk pusat investasi
pemerintah, penyertaan modal negara, dana bergulir, dana pengembangan
pendidikan nasional, dan kewajiban yang timbul akibat penjaminan pemerintah.
Pembiayaan
luar negeri neto adalah semua pembiayaan yang berasal dari penarikan pinjaman
luar negeri yang terdiri atas pinjaman program dan pinjaman proyek dikurangi
dengan penerusan pinjaman dan pembayaran cicilan pokok utang luar negeri.
Sumber penerimaan APBN
Penerimaan
APBN diperoleh dari berbagai sumber yaitu:
Penerimaan pajak yang meliputi:
1. Pajak
penghasilan (PPh)
2. Pajak
pertambahan nilai (PPN)
3. Pajak bumi
dan bangunan (PBB)
4. Bea
perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHT) dan cukai
5. Pajak
lainnya seperti pajak perdagangan (bea masuk dan pajak/pungutan ekspor)
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)
meliputi:
1. Pengelolaan
dana pemerintah
2. Pemanfaatan
sumber daya alam (SDA)
3. Hasil-hasil
pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan
4. Kegiatan
pelayanan yang dilaksanakan pemerintah.
Fungsi APBN
APBN mempunyai fungsi otoritas, perencanaan,
pengawasan, alokasi, distribusi dan stabilisasi. Semua penerimaan yang menjadi hak
dan pengeluaran yang menjadi kewajiban negara dalam satu tahun anggaran harus
dimasukan dalam APBN. Surplus penerimaan negara dapat digunakan untuk membiayai
pengeluaran negara tahun anggaran berikutnya.
1. Fungsi
Otorisasi
Mengandung
arti bahwa anggaran negara menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan
belanja pada tahun yang bersangkutan, dengan demikian pembelanjaan atau
pendapatan dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat.
2. Fungsi
perencanaan
Mengandung
arti bahwa anggaran negara dapat menjadi pedoman bagi negara untuk merencanakan
kegiatan pada tahun tersebut.
3. Fungsi
pengawasan
Berarti
anggaran negara harus menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan
penyelenggaraan pemerintah negara sesuai dengan ketentuan yang telah
ditetapkan. Dengan demikian akan mudah
bagi rakyat untuk menilai apakah tindakan pemerintah menggunakan uang negara
untuk keperluan tertentu itu dibenarkan atau tidak.
4. Fungsi
alokasi
Berarti
bahwa anggaran negara harus diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan
pemborosan sumber daya serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian.
5. Fungsi
distribusi
Berarti
bahwa kebijakan anggaran negara harus memperhatikan rasa keadilan dan
kepatutan.
6. Fungsi
stabilisasi
Memiliki
makna bahwa anggaran pemerintah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan
keseimbangan fundamental perekonomian.
C.
Kebijakan Fiskal dalam Islam
Dalam Islam kebijakan fiskal dan anggaran ini
bertujuan untuk mengembangkan suatu masyarakat yang didasarkan atas distribusi
kekayaan berimbang dengan nilai-nilai material dan spiritual pada tingkat yang
sama. Pada sistem konvensional, konsep
kesejahteraan hidup adalah untuk mendapatkan keuntungan maksimum bagi individu.
Namun dalam Islam, konsep kesejahteraannya sangat luas, meliputi kehidupan di
dunia dan di akhirat serta peningkatan spiritual lebih ditekankan daripada
pemilikan material.
Menurut
Metwalley, setidaknya ada tiga tujuan yang hendak dicapai oleh kebijakan
fiskal dalam ekonomi islam, yaitu:
a. Islam menghendaki tingkat kesetaraan
ekonomi yang demokratis melalui prinsip bahwa “kekayaan seharusnya tidak
beredar diantara orang-orang kaya saja”. Prinsip ini menegaskan bahwa setiap
orang seharusnya memiliki akses yang sama dalam memperoleh kekayaan.
b. Islam melarang pembayaran bunga
(riba). Hal ini berarti islam tidak dapat memanipulasi tngkat suku bunga untuk
mencapai keseimbangan dalam pasar uang.
c.
Islam mempunyai komitmen untuk
membantu ekonomi masyarakat yang kurang berkembang.
Kebijakan
fiskal dapat juga diartikan sebagai tindakan yang diambil oleh pemerintah dalam
bidang anggaran belanja Negara dengan maksud untuk mempengaruhi jalanya
perekonomian. Menurut Islam, sistem ekonomi Islam pada dasarnya dibagi kedalam
tiga sector yang utama, yaitu sektor public, sektor swasta dan juga sektor
keadilan sosial.
Fungsi
daripada sektor fiskal menurut Islam:[11]
1. Memelihara terhadap hukum, keadilan dan juga pertahanan
2. Perumusan dan pelaksanaan terhadap kebijakan eonomi
3. Manajemen kekayaan pemerintah yang ada di dalam BUMN
4. Intervensi ekonomi oleh pemerintah jika diperlukan
1. Memelihara terhadap hukum, keadilan dan juga pertahanan
2. Perumusan dan pelaksanaan terhadap kebijakan eonomi
3. Manajemen kekayaan pemerintah yang ada di dalam BUMN
4. Intervensi ekonomi oleh pemerintah jika diperlukan
Dalam perjalanan sejarah Islam telah dikenal beberapa
sumber pendapatan dan keuangan negara (al-mawarid al-maliyyah li al-dawlah).
Berdasarkan perolehannya, sumber-sumber pendapatan negara tersebut menurut
Wahhab Khalaf dapat dikategorikan menjadi dua, yakni yang bersifat rutin (dawriyyah)
dan pendapatan insidental (ghayr dawriyyah). Pendapatan rutin negara
terdiri dari zakat, kharaj (pajak bumi), jizyah (pajak jaminan keamanan atas
non-Muslim), dan usyur (pajak ekspor dan impor). Sedangkan pendapatan tidak
rutin adalah pemasukan tak terduga seperti dari ghanimah dan fa'i (harta
rampasan perang), ma'adin (seperlima hasil tambang) dan rikaz (harta
karun), harta peninggalan dari pewaris yang tidak mempunyai ahli waris, harta
temuan dan segala bentuk harta yang tidak diketahui secara pasti pemiliknya
('Abd al-Wahhab Khalaf, 1977:114). Sabahuddin Azmi membuat klasifikasi
sumber-sumber pendapatan yang agak berbeda dengan Khalaf. Ia membedakan sumber
pendapatan negara berdasarkan tujuan alokasinya; 1) Pendapatan ghanimah,
Pendapatan shadaqah, dan Pendapatan fa'i.(Sabahuddin Azmi, 2004:
Bab IV) Klasifikasi yang mengikuti pendapat Abu Yusuf ini menurut Azmi menjadi
sangat penting karena alokasi dari setiap kategori pendapatan telah ditentukan,
dan tidak boleh dicampuradukkan.
Ibn Taimiyyah mengikuti klasifikasi Abu Yusuf. Ia
menggaris bawahi bahwa sumber penerimaan keuangan negara terdiri dari tiga
kategori, yaitu ghanimah, sadaqah dan fa'i.(Sabahuddin
Azmi, 2004:32) Dalam mengklasifikasikan seluruh sumber penerimaan tersebut, Ibn
Taimiyyah mempertimbangkan asal-usul dari penerimaan yang dihimpun dari
berbagai sumber dan kebutuhan anggaran pengeluarannya, termasuk seluruh sumber
pendapatan di luar ghanimah dan zakat, dengan nama fa'i.[12]
menurut
Siddiq (1988), mengklasifikasikan fungsi Negara islami dalam tiga kategori,
yaitu:[13]
1. Fungsi yang dinamakan syariah secara permanen, meliputi :
a. Pertahanan
b. Hukum dan ketertiban
c. Keadilan
d. Pemenuhan Kebutuhan
e. Dakwah
f. Amar ma’ruf nahi mungkar
g. Administrasi sipil
h. Pemenuhan kewajiban-kewajiban sosial jika sektor swasta gagal memenuhinya.
2. Fungsi turunan syariah yang berbasis ijtihad sesuai kondisi sosial dan ekonomi pada waktu tertentu, meliputi:
a. Perlindungan lingkungan
b. Penyediaan sarana kepentingan umum
c. Penelitian ilmiah
d. Pengumpulan modal dan pembangunan ekonomi
e. Menyediakan subsidi pada kegiatan swasta tertentu
f. Pembelanjaan yang diperukan untuk stabilisasi kebijakan.
3. Fungsi yang diamanahkan secara kontekstual berdasarkan proses musyawarah, meliputi semua kegiatan yang dipercayakan masyarakat kepada sebuah proses musyawarah. Inilah yang menurut Siddiqi terbuka dan berbeda kepada setiap Negara tergantung situasi dan kondisi Negara masing-masing.
1. Fungsi yang dinamakan syariah secara permanen, meliputi :
a. Pertahanan
b. Hukum dan ketertiban
c. Keadilan
d. Pemenuhan Kebutuhan
e. Dakwah
f. Amar ma’ruf nahi mungkar
g. Administrasi sipil
h. Pemenuhan kewajiban-kewajiban sosial jika sektor swasta gagal memenuhinya.
2. Fungsi turunan syariah yang berbasis ijtihad sesuai kondisi sosial dan ekonomi pada waktu tertentu, meliputi:
a. Perlindungan lingkungan
b. Penyediaan sarana kepentingan umum
c. Penelitian ilmiah
d. Pengumpulan modal dan pembangunan ekonomi
e. Menyediakan subsidi pada kegiatan swasta tertentu
f. Pembelanjaan yang diperukan untuk stabilisasi kebijakan.
3. Fungsi yang diamanahkan secara kontekstual berdasarkan proses musyawarah, meliputi semua kegiatan yang dipercayakan masyarakat kepada sebuah proses musyawarah. Inilah yang menurut Siddiqi terbuka dan berbeda kepada setiap Negara tergantung situasi dan kondisi Negara masing-masing.
Sumber
penerimaan pada masa Rasulullah digolongkan menjadi 3 golongan besar,
diantaranya:
1. Dari kaum muslim sumber penerimaan Negara, yaitu
a. Kharaj (pajak tanah)
b. Zakat
c. Ushr (bea impor)
d. Zakat Fitrah
e. Wakaf
f. Infak dan Shadaqah
g. Amwal Fadhla (harta benda kaum muslimin yang meninggal tanpa ahli waris, atau berasal dari barang-barang seorang muslim yang meninggalkan negrinya.
h. Nawaih (pajak yang jumlahnya cukup besar yang dibebankan pada kaum muslimin dalam rangka menutupi pengeluaran Negara selama masa darurat.
i. Khumus atau rikaz (harta karun temuan pada periode sebelum islam.
2. Sementara pendapatan kaum non muslim yakni :
a. Jizyah
b. Kharaj
c. Ushr
3. Sedangkan dari sumber penerimaan yang lain yakni :
a. Ghanimah ( harta rampasan perang)
b. Fay (harta dari daerah taklukan)
c. Uang tebusan untuk para tawanan perang
d. Kaffarah atau denda
e. Hadiah
f. Pinjaman dari kaum muslimin dan non muslim
1. Dari kaum muslim sumber penerimaan Negara, yaitu
a. Kharaj (pajak tanah)
b. Zakat
c. Ushr (bea impor)
d. Zakat Fitrah
e. Wakaf
f. Infak dan Shadaqah
g. Amwal Fadhla (harta benda kaum muslimin yang meninggal tanpa ahli waris, atau berasal dari barang-barang seorang muslim yang meninggalkan negrinya.
h. Nawaih (pajak yang jumlahnya cukup besar yang dibebankan pada kaum muslimin dalam rangka menutupi pengeluaran Negara selama masa darurat.
i. Khumus atau rikaz (harta karun temuan pada periode sebelum islam.
2. Sementara pendapatan kaum non muslim yakni :
a. Jizyah
b. Kharaj
c. Ushr
3. Sedangkan dari sumber penerimaan yang lain yakni :
a. Ghanimah ( harta rampasan perang)
b. Fay (harta dari daerah taklukan)
c. Uang tebusan untuk para tawanan perang
d. Kaffarah atau denda
e. Hadiah
f. Pinjaman dari kaum muslimin dan non muslim
Karakteristik
fundamental sistem keungan dan fiskal dalam ekonomi islam adalah sebagai
berikut :
1. Kelayakan
ekonomi yang luas berlandaskan full employmentdan tingkat pertumbuhan ekonomi
yang optimum
2.
Keadilan
sosio-ekonomi dengan pemerataan distribusi pendapatan dan kesejahteraan.
3. Stabilitas
dalam nilai uang sehingga memungkinkan medium of exchange dapat dipergunakan
sebagai satuan perhitungan, patokan yang adil dalam menangguhkan pembayaran,
dan nilai tukar yang stabil.
4.
Penagihan
yang efektif dari semua jasa biasanya diharapkan dari sistem perbankan.
Instrumen
Kebijakan Fiskal dalam Pemerintah Islam
Dari penjelasan
mengenai struktur APBN dan kebijakan yang dilakukan di zaman pemerintahan
Islam, dapat dilihat instrumen kebijakan fiskalnya, yaitu:[14]
1. Peningkatan Pendapatan
Nasional dan Tingkat Partisipasi Kerja: Untuk meningkatkan pendapatan nasional
dan tingkat partisipasi kerja, Rasulullah SAW melakukan kebijakan sebagai
berikut:
a. Mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan Anshar: Rasulullah SAW menginstruksikan bahwa setiap orng Anshar bertanggung jawab terhadap saudara Muhajirinnya. Dengan cara ini terjadilah distribusi pendapatan yang juga meningkatkan Permintaan Agregatif (AD) di Madinah;
b. Kerjasama kaum Muhajirin dengan Anshar: Kaum Anshar yang memiliki tanah pertanian, perkebunan, dan tabungan melakukan kerjasama dengan Muhajirin yang membutuhkan pekerjaan. Adanya kerjasama ini berarti menciptakan lapangan pekerjaan dan terjadi perluasan produksi serta fasilitas perdagangan. Dengan kata lain terjadi peningkatan produksi secara total, peningkatan sumber daya manusia, dan peningkatan modal;
c. Membagikan tanah untuk perumahan kepada kaum Muhajirin: Dengan pembangunan perumahan, maka kebutuhan dasar terhadap rumah sudah terpenuhi dan terjadi peningkatan partisipasi kerja;
d. Pembagian 80% dari harta rampasan perang: Hal ini berarti terjadinya peningkatan pendapatan yang akhirnya menyebabkan peningkatan Permintaan Agregatif (AD);
a. Mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan Anshar: Rasulullah SAW menginstruksikan bahwa setiap orng Anshar bertanggung jawab terhadap saudara Muhajirinnya. Dengan cara ini terjadilah distribusi pendapatan yang juga meningkatkan Permintaan Agregatif (AD) di Madinah;
b. Kerjasama kaum Muhajirin dengan Anshar: Kaum Anshar yang memiliki tanah pertanian, perkebunan, dan tabungan melakukan kerjasama dengan Muhajirin yang membutuhkan pekerjaan. Adanya kerjasama ini berarti menciptakan lapangan pekerjaan dan terjadi perluasan produksi serta fasilitas perdagangan. Dengan kata lain terjadi peningkatan produksi secara total, peningkatan sumber daya manusia, dan peningkatan modal;
c. Membagikan tanah untuk perumahan kepada kaum Muhajirin: Dengan pembangunan perumahan, maka kebutuhan dasar terhadap rumah sudah terpenuhi dan terjadi peningkatan partisipasi kerja;
d. Pembagian 80% dari harta rampasan perang: Hal ini berarti terjadinya peningkatan pendapatan yang akhirnya menyebabkan peningkatan Permintaan Agregatif (AD);
2. Kebijakan
Pajak: Dengan adanya kebijakan pajak terhadap masing-masing usaha akan menyebabkan
terciptanya kestabilan harga dan mengurangi inflasi. Pada saat stagnasi dan
penurunan AD dan AS, pajak (khususnya Khums) mendorong stabilitas pendapatan
dan produksi total. Kebijakan ini juga tidak menyebabkan penurunan harga maupun
jumlah produksi;
3. Anggaran:
Dengan mengatur APBN secara cermat dan proporsional serta terus menjaga
keseimbangan, maka tidak akan terjadi deficit. Bahkan akan terjadi surplus
seperti yang terjadi pada zaman Khulafaur Rasyidin;
4. Kebijakan
Fiskal Khusus: Pada masa Rasulullah SAW ada beberapa kebijakan fiskal khusus
untuk pengeluaran negara yaitu:
a. Meminta bantuan dari kaum muslimin secara sukarela atas permintaan Rasulullah;
b. Meminjam peralatan dari kaum non muslim dengan jaminan pengembalian dan ganti rugi bila alat tersebut rusak, tanpa harus menyewanya;
c. Meminjam uang kepada orang tertentu dan memberikannya kepada orang yang masuk Islam;
d. Menerapkan kebijakan insentif
a. Meminta bantuan dari kaum muslimin secara sukarela atas permintaan Rasulullah;
b. Meminjam peralatan dari kaum non muslim dengan jaminan pengembalian dan ganti rugi bila alat tersebut rusak, tanpa harus menyewanya;
c. Meminjam uang kepada orang tertentu dan memberikannya kepada orang yang masuk Islam;
d. Menerapkan kebijakan insentif
[1]
Kamus Besar Bahasa Indonesia
[2]
Ibid.,
[3]
Republika Online (oleh Adiwarman Azwar Karim) Jumat 11 Juni 2010
[4]
Sadono Sukirno, ekonomi pembangunan proses, masalah dan dasar kebijakan, 2007,
h. 234
[5]
Mafizatun Nurhayati, Perekonomian Indonesia, 2014, h. 10
[8]
Anggito Abimanyu & Adie Megantara, Era Baru Kebijakan Fiskal, 2009, h.
24-25
[10]
Mafizatun Nurhayati, Perekonomian Indonesia, 2014, h. 2
[14]
Republika Online (oleh Adiwarman Azwar Karim) Jumat 11 Juni 2010
Daftar Pustaka
Abimanyu, Anggito dan Megantara, Andie, Era Baru Kebijakan
Fiskal, Jakarta: Kompas,
2009.
M. L. Jhingan, Ekonomi
Pembangunan dan Perencanaan, Jakarta: PT RajaGrafindo, 2012.
Nurhayati, Mafizatun, Perekonomian Indonesia, 2014.
Sukirno, Sadono, Ekonomi Pembangunan Proses, Masalah dan Dasar
Kebijakan, Jakarta:
Kencana, 2007.
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar