BLOG DALAM MASA PERBAIKAN!!

Senin, 30 Juni 2014

8 kelompok yang sudah dijanjikan Allah swt

Barangsiapa yang duduk bersama delapan kelompok orang ini, maka Allah akan menambah delapan sifat baginya. kelompok mana sajakah itu, yaitu :

1. Barangsiapa duduk bersama orang kaya, maka akan bertambah cintanya terhadap dunia

2. Barangsiapa duduk bersama orang miskin, maka akan bertambah syukur dan ridho atas pemberian Allah kepadanya

3 Barangsiapa duduk bersama para penguasa, maka akan bertambah kesombongan dan kekerasan hatinya

4 Barangsiapa duduk bersama perempuan, maka akan bertambah kebodohan, keinginan dan kecenderungannya untuk mengikuti kemauannya

5 Barangsiapa duduk bersama anak-anak, maka akan bertambah senda guraunya

6 Barangsiapa duduk bersama orang fasik, maka akan bertambah kemauannya untuk melakukan perbuatan dosa dan maksiat serta menunda-nunda tobat

7 Barangsiapa duduk bersama orang sholeh, maka akan bertambah kemauannya untuk senantiasa meningkatkan ibadah dan menjauhi segala hal yang haram

8 Barangsiapa duduk bersama ulama, maka akan bertambah ilmu dan kearifannya

Kamis, 26 Juni 2014

3 keutamaan menuntut ilmu

apa yang kita rasakan jika kita sedang menuntut ilmu di sekolah, universitas, tempat les ataupun di majelis pengajian?
menuntut ilmu adalah wajib hukumnya dalam islam, karena dengan ilmu manusia bisa menjadi mulia, tentunya jika dibarengi dengan keimanan. Alla swt sudah berfirman dalam Al Qur'an surah Al Mujaddilah 11. di ayat tersebut Allah swt menjelaskan bahwa akan mengangkat derajat orang-orang yang berilmu dan beriman. begitulah penjelasan Allah swt dalam Al Qur'an dan sudah seharusnya kita sebagai umat muslim percaya akan hal tersebut. Lalu, apa yang menyebabkan seseorang malas menuntut ilmu. padahal ada 3 keutamaan bagi orang-orang yangmenuntut ilmu, yaitu:
1. Allah swt akan memberinya ketenangan dan rahmat
2. Akan dikelilingi oleh para malaikat dan mendoakan orang yang menuntut ilmu
3. Allah swt akan menyebut-nyebut nama hambaNya tersebut dilangit sehingga para malaikatpun tau

Maka dari itu, mari sama-sama kita koreksi diri kita masing-masing, apakah yang membuat kita masih malas menuntut ilmu, barangkali niat kita yang tidak ikhlas atau tidak tulus. Padahal jika kita mengetahui dan menyadari betapa agungnya orang yang beriman dan berilmu di mata Allah swt. kita bisa lihat contohnya bagaimana dahulu para tabi'in, para ulama dalam mencari ilmu. Mereka dengan susah payah pergi mengembara ditengah terik matahari di lautan pasir yang luas demi bertemu dengan seorang guru, alim ulama untuk mendapatkan ilmu. Sedangkan kita saat ini sudah banyak alat transportasi yang bisa kita gunakan. Mari kita ambil pelajaran dari hal ini kecil ini.
Semoga yang sedikit ini bermanfaat.

Senin, 23 Juni 2014

Kebijakan Fiskal dalam Islam

BAB II
PEMBAHASAN

   A.    Arti Pengertian Kebijakan dan Fiskal
Sudah sering kita dengar baik di berita, koran ataupun radio hal-hal yang berhubungan dengan sebuah sistem dalam kepemerintahan Indonesia yang disebut dengan kebijakan fiskal. Dimana kebijakan fiskal ini hampir sama dengan kebijakan moneter, hanya saja pelaku dan tugas dari kedua kebijakan tersebut berbeda. Dalam kamus bahasa Indonesia yang disebut dengan kebijakan adalah kepandaian; kemahiran; kebijaksanaan; rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak (di dalam pemerintahan, organisasi, dsb).[1] Sedangkan Fiskal adalah berkenaan dengan urusan pajak atau pendapatan negara.[2]

   B.     Kebijakan Fiskal
Setiap tahun pemerintah membuat suatu Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) yang diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk kemudian disahkan menjadi undang-undang APBN. RAPBN itu berisikan berbagai rencana kebijakan yang intinya adalah kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal itu sendiri adalah suatu kebijakan yang meliputi kegiatan penerimaan dan pengeluaran negara yang digunakan oleh pemerintah untuk menjaga stabilitas ekonomi serta mendorong pertumbuhan ekonomi.[3] Selain itu Kebijakan fiskal juga bisa diartikan sebagai kebijakan pemerintah dalam bidang pengeluaran dan pendapatannya dengan tujuan untuk menciptakan tingkat kesempatan kerja yang tinggi tanpa inflasi.[4] Contoh kebijakan fiskal adalah apabila perekonomian nasional mengalami inflasi, pemerintah dapat mengurangi kelebihan permintaan masyarakat dengan cara memperkecil pembelanjaan dan menaikan pajak agar tercipta kstabilan.[5] Kebijakan fiskal berbeda dengan kebijakan moneter, yang bertujuan menstabilkan perekonomian dengan cara mengontrol tingkat bunga dan jumlah uang yang beredar. Instrumen utama kebijakan fiskal adalah   pengeluaran dan pajak.[6] instrumen kebijakan fiskal dalam system  e konomi islam terbebas dari unsur-unsur yang diharamkan oleh syari'at. Karenanya, unsur-unsur yang menjadi instrumen kebijakan fiskal dalam system ekonomi Islam, berbeda dengan unsur-unsur yang menjadi instrumen dalam kebijakan fiskal konvensional.[7]
Selama 30 tahun terakhir, struktur perekonomian Indonesia setelah mengalami transisi yang luar biasa. Pada tahun 1967, Indonesia berada dalam situasi yang sangat kacau. Pendapatan per kapita turun sampai tingkat dibawah yang telah dicapai 5 tahun sebelumnya, perekonomian hancur oleh hiper-inflasi sektor pertanian tidak dapat lagi menyediakan bahan pangan yang cukup untuk kebutuhan dalam negeri, dan kemiskinan menjadi nasib sebagian besar penduduk. Walaupun pemerintah orde baru bergerak cepat dan pasti untuk membangun sejumlah tujuan dibidang ekonomi sampai tahun 1985 Indonesia hanya menunjukan sedikit sekali jejak industrialisasi. Pada saat itu, ekspor Indonesia masih di dominasi oleh minyak dan gas bumi serta beberapa produk utama lainnya. Sektor pertanian masih menyumbang sekitar 24% produk domestik bruto (PDB), sementara industri non migas menyumbang kurang dari 14%. Namun, pada tahun 1994, PDB riil tumbuh sampai rata-rata 7,6% per tahun selama satu dekade dan industri non migas tumbuh sampai 20% dari PDB. Kinerja perekonomian tersebut, menurut bank dunia telah menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara yang termasuk kedalam keajaiban asia timur.[8]

Berikut adalah komponen dari kebijakan fiskal:[9]
      1.      Sumber penerimaan negara
Sumber-sumber penerimaan dalam islam dapat diperoleh melalui pendapatan zakat, ghanimah, fai’, kharaj dan jiziyah. Sumber-sumber inilah yang berlaku pada masa nabi SAW. Sedangkan dalam konvensional hanya mengandalkan pajak yang didapat dari warga negara.
     2.      Pengeluaran negara
Keuangan publik diarahkan untuk mewujudkan tujuan negara muslim. Inilah tugas pemerintahan dalam negara muslim untuk menggunakan uang tersebut dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat dan meningkatkan ketaqwaan masyarak. Jadi, sebagian besar anggaran pemerintah akan digunakan pada aktifitas-aktifitas yang dimaksudkan untuk meningkatkan islam dan kesejahteraan masyarakat muslim.
     3.      Utang negara
Pinjaman ini dilakukan untuk menstabilkan harga. Pinjaman dari negara lain yang menggunakan sistem bebas bunga pada umumnya susah untuk didapatkan. Oleh karenanya, suatu negara tertentu mungkin akan mendapatkan dari negara lain, yang sepaham.

APBN terdiri atas anggaran Pendapatan Negara, anggaran Belanja Negara dan Pembiayaan Anggaran.[10]
     1.      Pendapatan Negara
Pendapatan negara adalah hak Pemerintah Pusat yang diakui sebagai penambah kekayaan bersih yang terdiri atas penerimaan perpajakan, penerimaan negara bukan pajak dan penerimaan Hibah.
Penerimaan perpajakan adalah semua penerimaan negara yang terdiri dari pendapatan pajak dalam negeri dan pendapatan pajak perdagangan internasional. Pendapatan pajak dalam negeri adalah semua penerimaan negara yang berasal dari pendapatan pajak penghasilan, pendapatan pajak pertambahan nilai barang dan pendapatan pajak penjualan atas barang mewah, pendapatan pajak bumi dan bangunan, pendapatan cukai, dan pendapatan pajak lainnya. Sedangkan pendapatan pajak perdagangan internasional adalah semua penerimaan negara yang berasal dari pendapatan bea masuk dan pendapatan bea keluar.
Penerimaan negara bukan pajak, yang selanjutnya disingkat PNBP, adalah semua penerimaan pemerintah pusat yang diterima dalam bentuk penerimaan dari sumber daya alam, pendapatan bagian laba Badan Usaha Milik Negara (BUMN), PNBP lainnya, serta pendapatan Badan Layanan Umum (BLU).
Penerimaan Hibah adalah semua penerimaan negara baik dalam bentuk devisa dan/atau devisa yang dirupiahkan, rupiah, jasa, dan/atau surat berharga yang diperoleh dan pemberi hibah yang tidak perlu dibayar kembali dan yangtidak mengikat, baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri.
  
     2.      Belanja Negara
Belanja negara adalah kewajiban pemerintah pusat yang diakui sebagai pengurangan nilai kekayaan bersih yang terdiri atas belanja pemerintah pusat dan transfer ke daerah.

     3.      Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan anggaran adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali, penerimaan kembali atas pengeluaran tahun-tahun anggaran sebelumnya, pengeluaran kembali atas penerimaan tahun-tahun anggaran sebelumnya, penggunaan saldo anggaran lebih, dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya.
Pembiayaan dalam negeri adalah semua penerimaan pembiayaan yang berasal dari perbankan dan nonperbankan dalam negeri, yang terdiri atas penerimaan cicilan pengembalian penerusan pinjaman, saldo anggaran lebih, hasil pengelolaan aset, penerbitan surat berharga negara neto, pinjaman dalam negeri, dikurangi dengan pengeluaraan pembiayaan, yang meliputi aslokasi untuk pusat investasi pemerintah, penyertaan modal negara, dana bergulir, dana pengembangan pendidikan nasional, dan kewajiban yang timbul akibat penjaminan pemerintah.
Pembiayaan luar negeri neto adalah semua pembiayaan yang berasal dari penarikan pinjaman luar negeri yang terdiri atas pinjaman program dan pinjaman proyek dikurangi dengan penerusan pinjaman dan pembayaran cicilan pokok utang luar negeri.


Sumber penerimaan APBN
            Penerimaan APBN diperoleh dari berbagai sumber yaitu:
Penerimaan pajak yang meliputi:
      1.      Pajak penghasilan (PPh)
      2.      Pajak pertambahan nilai (PPN)
      3.      Pajak bumi dan bangunan (PBB)
      4.      Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHT) dan cukai
      5.      Pajak lainnya seperti pajak perdagangan (bea masuk dan pajak/pungutan ekspor)
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) meliputi:
      1.      Pengelolaan dana pemerintah
      2.      Pemanfaatan sumber daya alam (SDA)
      3.      Hasil-hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan
      4.      Kegiatan pelayanan yang dilaksanakan pemerintah.
  
Fungsi APBN
APBN mempunyai fungsi otoritas, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi dan stabilisasi. Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban negara dalam satu tahun anggaran harus dimasukan dalam APBN. Surplus penerimaan negara dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran negara tahun anggaran berikutnya.
     1.      Fungsi Otorisasi
Mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan, dengan demikian pembelanjaan atau pendapatan dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat.
     2.      Fungsi perencanaan
Mengandung arti bahwa anggaran negara dapat menjadi pedoman bagi negara untuk merencanakan kegiatan pada tahun tersebut.
     3.      Fungsi pengawasan
Berarti anggaran negara harus menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintah negara sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.  Dengan demikian akan mudah bagi rakyat untuk menilai apakah tindakan pemerintah menggunakan uang negara untuk keperluan tertentu itu dibenarkan atau tidak.
     4.      Fungsi alokasi
Berarti bahwa anggaran negara harus diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian.
     5.      Fungsi distribusi
Berarti bahwa kebijakan anggaran negara harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
     6.      Fungsi stabilisasi
Memiliki makna bahwa anggaran pemerintah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian.
  
      C.    Kebijakan Fiskal dalam Islam
Dalam Islam kebijakan fiskal dan anggaran ini bertujuan untuk mengembangkan suatu masyarakat yang didasarkan atas distribusi kekayaan berimbang dengan nilai-nilai material dan spiritual pada tingkat yang sama. Pada sistem konvensional, konsep kesejahteraan hidup adalah untuk mendapatkan keuntungan maksimum bagi individu. Namun dalam Islam, konsep kesejahteraannya sangat luas, meliputi kehidupan di dunia dan di akhirat serta peningkatan spiritual lebih ditekankan daripada pemilikan material.
Menurut Metwalley, setidaknya ada tiga tujuan yang hendak dicapai oleh kebijakan fiskal dalam ekonomi islam, yaitu:
a.         Islam menghendaki tingkat kesetaraan ekonomi yang demokratis melalui prinsip bahwa “kekayaan seharusnya tidak beredar diantara orang-orang kaya saja”. Prinsip ini menegaskan bahwa setiap orang seharusnya memiliki akses yang sama dalam memperoleh kekayaan.
b.       Islam melarang pembayaran bunga (riba). Hal ini berarti islam tidak dapat memanipulasi tngkat suku bunga untuk mencapai keseimbangan dalam pasar uang.
c.         Islam mempunyai komitmen untuk membantu ekonomi masyarakat yang kurang berkembang.  

Kebijakan fiskal dapat juga diartikan sebagai tindakan yang diambil oleh pemerintah dalam bidang anggaran belanja Negara dengan maksud untuk mempengaruhi jalanya perekonomian. Menurut Islam, sistem ekonomi Islam pada dasarnya dibagi kedalam tiga sector yang utama, yaitu sektor public, sektor swasta dan juga sektor keadilan sosial.

Fungsi daripada sektor fiskal menurut Islam:[11]
1. Memelihara terhadap hukum, keadilan dan juga pertahanan
2. Perumusan dan pelaksanaan terhadap kebijakan eonomi
3. Manajemen kekayaan pemerintah yang ada di dalam BUMN
4. Intervensi ekonomi oleh pemerintah jika diperlukan

Dalam perjalanan sejarah Islam telah dikenal beberapa sumber pendapatan dan keuangan negara (al-mawarid al-maliyyah li al-dawlah). Berdasarkan perolehannya, sumber-sumber pendapatan negara tersebut menurut Wahhab Khalaf dapat dikategorikan menjadi dua, yakni yang bersifat rutin (dawriyyah) dan pendapatan insidental (ghayr dawriyyah). Pendapatan rutin negara terdiri dari zakat, kharaj (pajak bumi), jizyah (pajak jaminan keamanan atas non-Muslim), dan usyur (pajak ekspor dan impor). Sedangkan pendapatan tidak rutin adalah pemasukan tak terduga seperti dari ghanimah dan fa'i (harta rampasan perang), ma'adin (seperlima hasil tambang) dan rikaz (harta karun), harta peninggalan dari pewaris yang tidak mempunyai ahli waris, harta temuan dan segala bentuk harta yang tidak diketahui secara pasti pemiliknya ('Abd al-Wahhab Khalaf, 1977:114). Sabahuddin Azmi membuat klasifikasi sumber-sumber pendapatan yang agak berbeda dengan Khalaf. Ia membedakan sumber pendapatan negara berdasarkan tujuan alokasinya; 1) Pendapatan ghanimah, Pendapatan shadaqah, dan Pendapatan fa'i.(Sabahuddin Azmi, 2004: Bab IV) Klasifikasi yang mengikuti pendapat Abu Yusuf ini menurut Azmi menjadi sangat penting karena alokasi dari setiap kategori pendapatan telah ditentukan, dan tidak boleh dicampuradukkan.
Ibn Taimiyyah mengikuti klasifikasi Abu Yusuf. Ia menggaris bawahi bahwa sumber penerimaan keuangan negara terdiri dari tiga kategori, yaitu ghanimah, sadaqah dan fa'i.(Sabahuddin Azmi, 2004:32) Dalam mengklasifikasikan seluruh sumber penerimaan tersebut, Ibn Taimiyyah mempertimbangkan asal-usul dari penerimaan yang dihimpun dari berbagai sumber dan kebutuhan anggaran pengeluarannya, termasuk seluruh sumber pendapatan di luar ghanimah dan zakat, dengan nama fa'i.[12]
  
menurut Siddiq (1988), mengklasifikasikan fungsi Negara islami dalam tiga kategori, yaitu:[13]
1. Fungsi yang dinamakan syariah secara permanen, meliputi :
a. Pertahanan
b. Hukum dan ketertiban
c. Keadilan
d. Pemenuhan Kebutuhan
e. Dakwah
f. Amar ma’ruf nahi mungkar
g. Administrasi sipil
h. Pemenuhan kewajiban-kewajiban sosial jika sektor swasta gagal memenuhinya.

2. Fungsi turunan syariah yang berbasis ijtihad sesuai kondisi sosial dan ekonomi pada waktu tertentu, meliputi:
a. Perlindungan lingkungan
b. Penyediaan sarana kepentingan umum
c. Penelitian ilmiah
d. Pengumpulan modal dan pembangunan ekonomi
e. Menyediakan subsidi pada kegiatan swasta tertentu
f. Pembelanjaan yang diperukan untuk stabilisasi kebijakan.

3. Fungsi yang diamanahkan secara kontekstual berdasarkan proses musyawarah, meliputi semua kegiatan yang dipercayakan masyarakat kepada sebuah proses musyawarah. Inilah yang menurut Siddiqi terbuka dan berbeda kepada setiap Negara tergantung situasi dan kondisi Negara masing-masing.

Sumber penerimaan pada masa Rasulullah digolongkan menjadi 3 golongan besar, diantaranya:
1. Dari kaum muslim sumber penerimaan Negara, yaitu
a. Kharaj (pajak tanah)
b. Zakat
c. Ushr (bea impor)
d. Zakat Fitrah
e. Wakaf
f. Infak dan Shadaqah
g. Amwal Fadhla (harta benda kaum muslimin yang meninggal tanpa ahli waris, atau berasal dari barang-barang seorang muslim yang meninggalkan negrinya.
h. Nawaih (pajak yang jumlahnya cukup besar yang dibebankan pada kaum muslimin dalam rangka menutupi pengeluaran Negara selama masa darurat.
i. Khumus atau rikaz (harta karun temuan pada periode sebelum islam.

2. Sementara pendapatan kaum non muslim yakni :
a. Jizyah
b. Kharaj
c. Ushr

3. Sedangkan dari sumber penerimaan yang lain yakni :
a. Ghanimah ( harta rampasan perang)
b. Fay (harta dari daerah taklukan)
c. Uang tebusan untuk para tawanan perang
d. Kaffarah atau denda
e. Hadiah
f. Pinjaman dari kaum muslimin dan non muslim

Karakteristik fundamental sistem keungan dan fiskal dalam ekonomi islam adalah sebagai berikut :
    1.     Kelayakan ekonomi yang luas berlandaskan full employmentdan tingkat pertumbuhan ekonomi yang optimum
      2.      Keadilan sosio-ekonomi dengan pemerataan distribusi pendapatan dan kesejahteraan.
    3.     Stabilitas dalam nilai uang sehingga memungkinkan medium of exchange dapat dipergunakan sebagai satuan perhitungan, patokan yang adil dalam menangguhkan pembayaran, dan nilai tukar yang stabil.
      4.      Penagihan yang efektif dari semua jasa biasanya diharapkan dari sistem perbankan.


Instrumen Kebijakan Fiskal dalam Pemerintah Islam
Dari penjelasan mengenai struktur APBN dan kebijakan yang dilakukan di zaman pemerintahan Islam, dapat dilihat instrumen kebijakan fiskalnya, yaitu:[14]
1. Peningkatan Pendapatan Nasional dan Tingkat Partisipasi Kerja: Untuk meningkatkan pendapatan nasional dan tingkat partisipasi kerja, Rasulullah SAW melakukan kebijakan sebagai berikut:
a. Mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan Anshar: Rasulullah SAW menginstruksikan bahwa setiap orng Anshar bertanggung jawab terhadap saudara Muhajirinnya. Dengan cara ini terjadilah distribusi pendapatan yang juga meningkatkan Permintaan Agregatif (AD) di Madinah;
b. Kerjasama kaum Muhajirin dengan Anshar: Kaum Anshar yang memiliki tanah pertanian, perkebunan, dan tabungan melakukan kerjasama dengan Muhajirin yang membutuhkan pekerjaan. Adanya kerjasama ini berarti menciptakan lapangan pekerjaan dan terjadi perluasan produksi serta fasilitas perdagangan. Dengan kata lain terjadi peningkatan produksi secara total, peningkatan sumber daya manusia, dan peningkatan modal;
c. Membagikan tanah untuk perumahan kepada kaum Muhajirin: Dengan pembangunan perumahan, maka kebutuhan dasar terhadap rumah sudah terpenuhi dan terjadi peningkatan partisipasi kerja;
d. Pembagian 80% dari harta rampasan perang: Hal ini berarti terjadinya peningkatan pendapatan yang akhirnya menyebabkan peningkatan Permintaan Agregatif (AD);

2. Kebijakan Pajak: Dengan adanya kebijakan pajak terhadap masing-masing usaha akan menyebabkan terciptanya kestabilan harga dan mengurangi inflasi. Pada saat stagnasi dan penurunan AD dan AS, pajak (khususnya Khums) mendorong stabilitas pendapatan dan produksi total. Kebijakan ini juga tidak menyebabkan penurunan harga maupun jumlah produksi;

3. Anggaran: Dengan mengatur APBN secara cermat dan proporsional serta terus menjaga keseimbangan, maka tidak akan terjadi deficit. Bahkan akan terjadi surplus seperti yang terjadi pada zaman Khulafaur Rasyidin;

4. Kebijakan Fiskal Khusus: Pada masa Rasulullah SAW ada beberapa kebijakan fiskal khusus untuk pengeluaran negara yaitu:
a. Meminta bantuan dari kaum muslimin secara sukarela atas permintaan Rasulullah;
b. Meminjam peralatan dari kaum non muslim dengan jaminan pengembalian dan ganti rugi bila alat tersebut rusak, tanpa harus menyewanya;
c. Meminjam uang kepada orang tertentu dan memberikannya kepada orang yang masuk Islam;
d. Menerapkan kebijakan insentif



[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia
[2] Ibid.,
[3] Republika Online (oleh Adiwarman Azwar Karim) Jumat 11 Juni 2010
[4] Sadono Sukirno, ekonomi pembangunan proses, masalah dan dasar kebijakan, 2007, h. 234
[5] Mafizatun Nurhayati, Perekonomian Indonesia, 2014, h. 10
[8] Anggito Abimanyu & Adie Megantara, Era Baru Kebijakan Fiskal, 2009, h. 24-25
[10] Mafizatun Nurhayati, Perekonomian Indonesia, 2014, h. 2
[14] Republika Online (oleh Adiwarman Azwar Karim) Jumat 11 Juni 2010

Daftar Pustaka

Abimanyu, Anggito dan Megantara, Andie, Era Baru Kebijakan Fiskal, Jakarta: Kompas,
  2009.
M. L. Jhingan, Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, Jakarta: PT RajaGrafindo, 2012.
Nurhayati, Mafizatun, Perekonomian Indonesia, 2014.
Sukirno, Sadono, Ekonomi Pembangunan Proses, Masalah dan Dasar Kebijakan, Jakarta:
              Kencana, 2007.
Kamus Besar Bahasa Indonesia